"Wat is er aan de hand, Yah? Tumben banget nelepon aku." Faza terkikik geli, menyisir rambut ke belakang. Tubuh Faza disandarkan dengan kaki yang diluruskan, hingga mendorong kursi yang ada di depannya. "Ayah lagi nggak sibuk? Aku nggak yakin, sih, kalau Ayah nggak sibuk."
"Jaa—"
"Sebentar-sebentar. Biar kutebak." Faza memotong ucapan Andra, ayahnya. Jemarinya mengetuk beberapa kali, menatap soal di papan tulis yang seharusnya ia kerjakan, berhubung guru yang mengajar tidak masuk hari ini. "Ayah batal pulang lagi, 'kan, hari ini?"
Tidak adanya jawaban lantas membuat Faza tertawa pelan. Ia sudah biasa berada di rumah seorang diri tanpa siapapun. Oleh karena itu, Faza lebih sering menghabiskan waktu di studio. Setidaknya bersama teman-temannya, meski ketika mereka kembali ke rumah, Faza akan kembali sendirian.
"Aku benar lagi," lanjut Faza kemudian. Ia berdeham. "Aku nggak apa-apa. Ayah tinggal transfer uang aja ke rekening aku. Aku mau makan-makan sendiri setelah ini."
"Ayah emang kerja buat kamu, tapi bukan berarti kamu bisa foya-foya, Faza."
"Oh, buat aku, ya?" Faza berucap. "Yah, apa sebelum bunda nggak ada, Ayah juga begini? Kalau buat aku, berarti ... sebelumnya nggak sesibuk ini?"
Untuk kesekian kalinya, tidak ada jawaban. Bahkan, dengan pertanyaan yang terdengar begitu sederhana.
"Kalau Ayah pulang ke rumah, kabarin, ya. Kemungkinan, aku tidur di studio-"
"Za, kamu sekarang kelas sebelas, loh. Fokus pendidikan dulu, bisa, 'kan?" Andra memotong ucapan Faza, membuat laki-laki itu lantas meneguk saliva. Ia berdeham, menetralkan sedikit keterkejutan karena nada suara sang ayah yang berubah serius.
"Nilai kamu kemarin turun karena kamu terlalu fokus sama band. Sadar, Za, apa yang kamu lakuin itu nggak punya masa depan yang jelas," lanjut Andra.
"Iya," jawab Faza singkat. "Iya, iya. Paham, kok. Sesekali nggak masalah, 'kan?"
"Kalau cuma sesekali, nilai kamu seharusnya nggak turun."
"Yah ... nggak usah khawatir." Faza berusaha tersenyum, meski tahu Andra tidak dapat melihatnya. Ucapan ayahnya itu memang benar, Faza akhir-akhir ini terlalu terdistraksi.
Bukan dari band, tapi karena hal lainnya.
"Ayah nggak mau lagi lihat nilai kamu turun, ya. Kalau nilai kamu turun terus, kesempatan kamu buat masuk kuliah lewat jalur prestasi berkurang, 'kan?"
Faza tertegun. Entah sudah berapa lama, ia bahkan tidak dapat membayangkan dirinya menduduki bangku perkuliahan.
"Ayah nggak mau sekolah kamu sampai telantar."
"Iya, iya. Paham, Yah." Faza mendesah kasar, tidak tahan dengan Andra yang selalu bersikap sama. Tetap memaksa sang putra untuk menjadi yang nomor satu. "Aku bakal jadi Smitty Warbenjägermanjensen, kok."
Suara tawa kecil terdengar, membuat Faza mengulum senyum tipis. Ia mungkin jarang berkomunikasi secara langsung dengan Andra, namun selama ini sang ayah selalu memperhatikannya. Mengawasinya, meski kadang membuat Faza lelah sendiri.
"Ayah telepon lagi nanti, ya."
"Iya, iya. Aku juga lagi ngerjain tugas, nih." Faza berucap. "Dag."
"Dag. Jangan lupa—"
Sebelum Andra benar-benar menyelesaikan kalimatnya, Faza langsung memutuskan panggilan. Ia tidak tahan jika harus mendengar wejangan dari ayahnya tersebut.
"Maaf, Yah." Faza mengusap wajah dengan kedua tangan. Ia menyandarkan tubuh, menangkat kepala hingga kedua netranya menatap langit-langit kelas.
"Aku capek banget ngikutin mau Ayah."
•••
Kalau kata orang masa sekolah menengah atas adalah masa yang paling indah, maka Faza setuju dengan ucapan itu. Setidaknya, ia dapat memenuhi egonya sebagai seorang remaja yang punya sejuta impian. Belum lagi, Faza merasa dirinya sudah sukses sebagai seorang anak yang belum menjadi warga negara yang legal.
Setidaknya, itu yang Faza pikirkan sebelumnya.
Ketika rasa sakit di lengan kanannya kembali terasa, Faza memilih untuk diam. Menikmati bagaimana nyeri menjalar seolah menyakiti seluruh tubuh. Kedua tangan dan kakinya begitu dingin, hingga tanpa sadar Faza menggigil karenanya. Niatnya untuk ke studio sepulang sekolah diurungkan dan Faza memutuskan untuk tetap duduk di kelas, bahkan ketika orang terakhir yang piket berpamitan.
"Sialan," umpat Faza pelan. Ia sudah meminum antinyeri—hampir meminumnya dua kali dalam waktu dekat, hanya saja Faza takut dosisnya akan berlebih—namun tetap, nyerinya tidak berkurang.
Apa setelah ini tangannya akan benar-benar dipotong, seperti yang Faza baca di internet?
"Coy, lo nggak pulang?" Sebuah suara terdengar dan Faza kembali mengangkat kepala. Kedua netranya menatap Angkasa yang berdiri di pintu. "Cewek lo nungguin di gerbang. Katanya, lo mau nganterin dia balik."
Faza mengangguk pelan. Berusaha menghilangkan kernyitan di dahi, tetapi rasa sakit membuat ringisan justru keluar dari bibirnya. Hendak bangkit, hanya saja kedua kaki Faza seolah melemah.
"Lo nggak apa-apa?" Raut wajah Angkasa tampak khawatir. Ia berjalan mendekat dan mempercepat langkah tepat ketika tubuh Faza hampir limbung. "Za, lo sakit? Mau ke rumah sakit? Biar gue bilangin ke Sera buat pulang sendiri dulu."
"Gue nggak apa-apa, kok," balas Faza pelan. Ia menyunggingkan senyum lebar. Mendorong tubuh Angkasa perlahan. "Cuma agak pusing sedikit. Pas gue periksa kemarin, katanya tekanan darah gue rendah. Makanya suka pusing kalau ganti posisi."
Angkasa tidak serta-merta percaya. "Muka lo mencurigakan."
Faza lantas membuang pandangan, enggan membiarkan wajahnya terlihat oleh Angkasa. "Gue mau balik," ucapnya kemudian. "Lo pulang juga, Sa. Udah sore."
"Balik ke rumah?"
"Abis nganter cewek gue, paling gue ke studio, sih."
"Lo nggak mau pulang ke rumah lagi?"
Faza diam sejenak. Meraih jaket yang tergeletak di atas meja, sebelum mengenakannya. Kedua netranya tampak lebih bersinar karena terpaan sinar matahari yang masuk melalui sela-sela tirai. Senyum tipisnya terbit tepat ketika kepala Faza menggeleng pelan.
"Ayah gue juga nggak pulang lagi," jawabnya, agak merasa sedih karena di sebelahnya kini adalah orang yang selalu ditunggu kedatangannya oleh orang rumah.
"Gue bisa temenin lo di studio. Atau lo mau ke rumah gue?" tawar Angkasa. "Abis anter cewek lo, ke rumah gue aja. Muka lo juga pucat banget. Takutnya ada apa-apa kalau lo sendirian."
"Tenang aja," ujar Faza. Ia mengerlingkan sebelah matanya. "Kalau ada apa-apa, lo bakal jadi orang pertama yang gue kabarin."
Angkasa bergidik. "Ngeri banget ucapan lo."
Faza tertawa pelan. Meraih tas dan mengenakannya. Meninggalkan Angkasa bersama dengan keheningan.
"Nggak apa-apa, Za." Faza bergumam pada dirinya sendiri. Mengusap lengannya yang begitu nyeri, meski sudah tidak separah barusan. Kedua kakinya melangkah melewati lorong yang kini kosong. "Nggak apa-apa, tenang aja. Walau nggak ada yang tahu, lo pasti bakal bisa tetap hidup."
Lalu, ketika Faza sampai di depan gerbang, ia berusaha menetralkan ekspresinya. Menampilkan raut wajah yang cerah seperti biasa. Tangannya melambai, menyapa seorang gadis yang berdiri di depan gerbang. Kedua langkahnya melebar.
"Selamat sore, Yang Tidak Mulia! Sudah siap pulang ke rumah?"
Setidaknya, saat ini Faza masih mampu bersikap seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Senja Terakhir
Teen FictionPokoknya, semua orang di SMA Bintang pasti mengenal sosok laki-laki bernama lengkap Faza Ghaisan Saskara, si social butterfly yang punya teman sampai ke pelosok kelas, anggota band sekolah yang fans-nya sudah tidak bisa dihitung lagi, ditambah salah...