supraventrikular takikardi

762 111 4
                                    

Faza tidak dapat mencerna apapun yang terjadi barusan. Pertanyaan dari Andra yang terus terngiang, lama-lama hilang begitu saja. Kedua tungkai yang terus melangkah entah ke mana. Tubuh Faza terasa begitu lemas, jantungnya berdegup cepat. Rasa sakit di pipi masih terasa.

Faza tidak punya tujuan lagi.

Ponsel yang terus bergetar tidak lagi diacuhkan. Berkali-kali ayahnya menelepon, namun Faza tidak peduli. Seolah membalas dendam pada tindakan Andra berhari-hari sebelumnya.

Untuk kali ini, mungkin seharusnya Faza tidak perlu peduli.

Bibir Faza yang terkatup rapat sebenarnya ingin menjelaskan. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman yang akan terus membesar. Tapi, ketika sosok Andra yang berada di hadapannya dengan wajah yang tampak keras dan tidak ingin disanggah sama sekali, Faza tahu usahanya akan sia-sia.

Lagipula, jika Andra memang benar-benar peduli, seharusnya ia mengejar Faza sebelum menghilang dari pandangan, bukan?

Jika bundanya masih ada ... apa ia akan peduli dengan keadaan Faza?

Rasa sakit yang tidak kunjung hilang ditambah dengan perasaan tidak nyaman yang terus menyiksa. Jika bisa memilih, Faza mungkin akan memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Toh, ayahnya juga tampak tidak peduli dengan dirinya. Apa yang menjadi pembahasan mereka hanya mengenai nilai dan masa depan yang bisa saja tidak lagi Faza miliki.

Helaan napas yang kemudian terdengar, Faza memutuskan untuk pergi ke studio yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Andra setelah ini pasti akan mengamuk lagi, namun ia sudah tidak peduli. Setelahnya, ada kemungkinan Faza tidak akan dapat bermain musik kembali seperti sebelumnya. Itu juga yang membuat Faza memikirkan satu ide sebelumnya; mengajak Naafi masuk ke band untuk menggantikan posisinya.

Setidaknya, sesuai dengan perkataannya tadi ketika berada di hadapan Naafi; Faza ingin bahagia.

•••

"Loh, teman kamu udah pulang, ya?" Karina bertanya begitu masuk ke ruangan. "Yah, padahal Bunda bawa makanan banyak banget. Bukan buat kamu, ya."

Naafi tidak begitu peduli dengan kehadiran Karina. Ia tetap fokus pada buku di hadapannya. Lalu, berdecak pelan ketika tidak berhasil menemukan jawaban dari soal yang sedang dikerjakan.

"Kamu juga, nih, udah malam bukannya istirahat. Masih aja belajar," lanjut Karina. Ia duduk di kursi dan mengeluarkan kotak makan yang dibawanya. "Kamu pasti lapar. Makanan rumah sakit nggak enak, 'kan? Iya, lah, masakan Bunda emang yang paling enak."

Naafi berhenti menulis, menatap Karina lekat-lekat. Pulpen yang sedari tadi berada di tangan diletakkan di atas meja. Kondisi yang rasanya sudah begitu baik, Naafi lalu berpikir bahwa ia harus berterima kasih pada sang bunda.

"Bunda," panggil Naafi kemudian. "Sebelum temanku tadi pulang, dia ngomong ke aku. Katanya ... aku bisa bahagia ... ya?"

Karina untuk sesaat tertegun. Ia tidak menyangka Naafi akan berbicara panjang. Tidak seperti biasanya di mana ia memilih diam, membiarkan Karina yang mendominasi percakapan.

"Tentu bisa banget, Naaf," jawab Karina cepat. "Bunda selalu bilang, bukan? Apa yang ada di dalam diri kamu bukan jadi penghalang buat kamu bahagia. Kamu juga sama kayak anak lainnya."

"Terus ... gimana?" Naafi bertanya. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Seumur hidup tidak bisa bebas, namun Karina selalu berkata bahwa ia tidak ada bedanya dengan anak lain. Mengesampingkan fakta bahwa sang bunda selama ini juga selalu mengekang. "Nggak ada orang yang mau nerima kondisi aku, 'kan?"

"Kamu sendiri ... juga nggak bisa nerima kondisi diri kamu, 'kan?" Karina balas bertanya. "Teman kamu yang kemarin kelihatannya baik, ya."

Naafi menunduk untuk sesaat. Ia tidak pernah benar-benar berinteraksi dengan Faza. "Ya," jawabnya singkat. "Sejauh penglihatan aku ... ya, dia baik."

"Dia juga kelihatannya mau nerima kondisi kamu."

"Aku nggak pernah jujur sama siapapun," ungkap Naafi. Lidahnya terasa kelu. "Kalau aku ... nggak kayak orang lain."

"Tuh, 'kan. Kamu begitu lagi." Karina tertawa pelan. Mengusap puncak kepala Naafi dengan lembut. Ia senang karena Naafi mulai berusaha untuk membuka diri. Meski sudah enam belas tahun berlalu. "Mungkin, kamu bisa coba buat temenan sama dia dulu. Seenggaknya, di hidup kamu, kamu bisa punya teman."

"Apa ... bisa?" Naafi menggigir bibir bawahnya sejenak. Merasa ragu dengan ucapan Karina.

"Seenggaknya kamu udah coba."

Selama ini ... Naafi selalu mencoba, bukan?

"Ya, mungkin aku bisa coba."

Setidaknya, ia akan mencoba jika bisa keluar dari rumah sakit dalam keadaan hidup.

•••

Faza seolah tenggelam pada masa lalu.

Sosok bunda yang tidak akan pernah hadir di hidupnya, namun Andra selalu berusaha membuatnya ada di hidup Faza. Memberitahu banyak hal mengenai bunda, membuat Faza seolah ikut berada di dalam kenangan yang Andra ciptakan.

Ketika Faza memutuskan untuk duduk di depan piano, mengingat melodi yang kata Andra selalu sang bunda mainkan. Menekan tuts perlahan seraya memejamkan mata. Alunan Claire de Lune yang kemudian mengalun di penjuru ruangan.

Ada rasa sakit yang menekan dada Faza dengan kuat. Rasa marah yang menjadi-jadi pada takdir.

Apa dengan sakit yang Faza derita dapat menjadi jalan baginya untuk bertemu bunda?

Apa dengan begitu, Andra dapat menjalani hidupnya dengan tenang tanpa seorang anak yang merepotkan?

Meski begitu, rasa takut yang semakin menjadi-jadi membuat Faza tidak mampu lagi bergerak. Tubuhnya terasa kaku. Hingga kemudian, Faza seolah terjatuh.

Untuk kesekian kalinya di hari ini, Faza kembali hancur.

Di Penghujung Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang