koma

975 98 5
                                    

Alunan lagu yang terdengar membuat jantung Faza berdegup cepat. Begitu membahagiakan hingga sudut bibirnya terangkat lebar. Faza merasa begitu bebas, hingga sakit di tangannya tidak lagi terasa. Kedua manik mata yang sedari tadi bergerak menatap teman-temannya, semua juga menunjukkan raut wajah yang sama.

Hingga lagu berakhir dan Faza memutuskan untuk duduk di sofa. Meneguk air mineral yang tergeletak di atas meja. Senyumnya belum juga luntur, sebelum ia berseru, "Goed gedaan, allemaal!"

"Muncul lagi bahasa aliennya Faza." Suara sorakan terdengar. Masing-masing individu ikut duduk di sofa. Membiarkan Faza tertawa karena kelakuannya sendiri.

"Masih aja bilang bahasa alien, padahal gue slelau ngucapin kalimat itu," ucap Faza. "Goed gedaan artinya sama kayak good job. Harus gue ulang-ulang, ya?"

Lagipula, tidak ada yang peduli juga, sih.

"Ya, terserah lo," ujar Angkasa. Ikut meraih sebotol air yang terletak di atas meja. Meneguknya hingga tandas, kemudian sebelah tangan mengusap kedua kelopak matanya. "Rasanya, kayak udah lama kita nggak latihan, ya. Gue jadi kangen manggung."

"Sekolah belum mau adain acara lagi, sih."

"Kenapa pula kita nggak coba-coba ikut lomba di luar. Siapa tahu, menang terus dapat uang."

"Boleh, tuh."

Faza hanya diam. Menyimak setiap ucapan teman-temannya. Alasan kenapa dirinya berada di sini hari ini ... bisa dibilang karena kesepakatan Faza dengan Andra. Ayahnya itu mungkin masih sedikit tidak rela jika Faza kembali melakukan aktivitas favoritnya tersebut, jadi ia memberi pilihan; Faza diperbolehkan bermain musik, namun dirinya harus mulai menjalani pengobatan.

Faza tentu menerima saja. Setidaknya, sebelum benar-benar tidak dapat bermain musik kembali, Faza dapat menghabiskan waktunya sebisa mungkin. Meski dengan rasa sakit di lengan kanan yang begitu menyiksa. Meski kemudian napasnya seperti begitu sesak.

"Ngomong-ngomong, ayah lo lagi di rumah, 'kan, Za? Kok, lo boleh ke studio?" Angkasa kemudian bertanya. Heran sendiri dengan sahabatnya yang tidak seberisik biasanya. "Apa akhirnya lo dibolehin main musik?"

"Kebetulan lo nanya." Faza berucap, berniat untuk menjawab sekaligus menjelaskan semuanya. "Omongan gue kemaren ... soal gue yang mau keluar dari band—"

"Sebentar, sebentar. Keluar dari band?" Kana memotong ucapan Faza. "Lo nggak ada ngomong apa-apa soal itu."

"Oh, ya ...." Faza mengusap belakang lehernya perlahan. "Maaf, ya. Gue baru ngomong masalah itu ke Angkasa. Soalnya ... kayaknya ... agak sulit juga buat ngejelasin semuanya."

"Za, lo nggak perlu ngasih tahu semuanya. Gue rasa, itu biar jadi rahasia lo—"

"Nggak apa-apa, Sa." Faza tersenyum lembut. Menepuk pundak Angkasa hingga laki-laki itu berhenti berbicara. "Kayaknya, gue udah siap buat cerita semuanya."

"Lo jangan bikin takut, deh. Lo nggak bakal tiba-tiba mati, 'kan?"

Faza diam sejenak. Lalu, tawanya terbit. Hanya sesaat, karena helaan napasnya muncul kemudian.

"Ya, mungkin itu juga bisa terjadi," jawab Faza, membuat hampir semua orang di studio menahan napas. Suara Faza terdengar begitu tenang. "Gue nggak tahu harus mulai dari mana, tapi kalian bisa ingat sejak kapan gue mulai mangkir dari latihan. Sejak itu ... masalah gue, ya, bisa dibilang muncul."

"Alasan lo selalu berkaitan sama ayah lo. Apa soal itu?"

Faza menggeleng pelan. "Gue sering nggak masuk sekolah karena sakit, 'kan? Penyakit gue nggak sesimpel itu ternyata." Diam sejenak, Faza menarik napas panjang. "Pas kemarin ayah gue pulang, akhirnya dia tahu semuanya. Awalnya, gue berpikir buat nggak ngelakuin pengobatan apapun dan milih buat hidup selama mungkin, selama yang gue bisa. Tapi—"

"Tunggu." Naafi kali ini angkat suara. Seperti berkaca ketika mendengar penuturan Faza. Rasanya, ternyata begitu menyakitkan ketika mendengar seseorang sudah menyerah untuk hidupnya sendiri. Mengingat bagaimana dirinya dahulu, di mana ia juga sama; tidak ingin terus melanjutkan pengobatan.

"Jadi ... itu maksud ucapan lo pas di rumah sakit?" Suara Naafi terdengar bergetar. "Karena ... itu?"

"Udah gue bilang, bukan? Kita sama, Naaf. Makanya, gue ajak lo buat bahagia di akhir hidup kita." Faza mengerlingkan sebelah matanya, menyunggingkan senyum seperti biasa, meski perkataannya terdengar begitu kontradiktif.

"Gue akhirnya memutuskan buat ikut pengobatan yang dianjurkan," lanjut Faza. "Karena itu ... mungkin gue bisa punya waktu hidup lebih lama, meski kemampuan gue bakal hilang. Gue ... nggak mungkin jadi anggota band dalam keadaan cacat, 'kan? Tapi, gue juga punya pemikiran lain."

Faza sebenarnya tidak ingin berakhir seperti ini. Tetapi, tidak ada pilihan lain. Ayahnya mungkin akan begitu sedih jika ia menyerah dengan hidupnya sendiri. Makanya, sebisa mungkin, selama Faza masih dapat melihat senyum orang-orang yang berarti bagi dirinya ... meski dalam keadaan yang terendah sekali pun, Faza tidak apa-apa.

"Gue masih bisa ngeliat kalian main band. Gue masih bisa ikut senang ... karena kalian juga senang." Faza mengubah nada suaranya. Berusaha mempertahankan cairan bening yang melapisi kedua bola matanya agar tidak mengalir begitu saja. "Selama itu, gue nggak akan pernah menyesal dengan keputusan gue. Walau kita mungkin nggak akan bisa berada di panggung yang sama lagi. Gue bakal selalu jadi pendukung nomor satu kalian."

Dengan keputusannya, Faza tidak ingin hidupnya berhenti begitu saja.

"Jadi, gue mohon. Walau gue nggak ada, jangan pernah berhenti, ya." Faza berdeham pelan. "Lo juga, Naaf. Lo juga harus tetap hidup. Karena lo udah jadi anggota Hemisfer Serebral. Setelah ini, lo bakal punya fans juga, sama kayak gue."

Naafi menggeleng sejenak. Akhir hidup mereka bisa saja akan sama.

"Nggak apa-apa." Kali ini, Angkasa yang berbicara. Tertuju pada Naafi yang menunduk. "Kita nerima kondisi lo, kok, Naaf. Lo mungkin aja belum mau jujur kayak Faza, tapi nantinya, gue harap lo bisa kasih tahu juga. Biar seenggaknya ... kita bisa sama-sama bikin kenangan buat lo ... ya?"

Kehangatan yang terasa di antara mereka membuat Faza tidak dapat menahan air matanya sama sekali. Ia mengusap sudut mata dan bangkit. Rasa takut yang begitu menyiksa membuatnya ingin berlari keluar dari realita, meski dengan keluarga-nya berada di sana.

"Ngomong-ngomong." Faza mengerjap beberapa kali, mengulum bibir sebelum kembali mengulas satu senyum lebar. "Makasih, ya."

"Gue juga ... terima kasih, ya." Naafi menimpali. "Terima kasih ... karena udah mau nerima gue."

Di Penghujung Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang