Faza tidak bergerak sama sekali. Kedua manik heterochromia-nya itu tidak mengerjap. Hingga kemudian, helaan napas yang terasa berat terbit. Suaranya tidak lagi mengisi ruangan, berganti dengan suara monitor.
Bahkan, setelah semua keributan yang terjadi, Faza tidak berani bertanya. Naafi juga memilih diam. Terpejam dengan tangan yang digenggam oleh sang bunda. Sekira akan mendapat jawaban, tirai yang sengaja ditutup menjadi akhir komunikasi tanpa suara mereka.
Memilih untuk duduk di atas bed, Faza menatap layar ponselnya. Ia tidak bergerak, sebelum akhirnya membuka ruang obrolan dengan sang ayah.
(Katanya, Sih) Ayah
Gisteren
Yah, ada yang mau aku omongin.
Penting.
Iya, nanti, ya. Ayah sibuk.
Vandaag
Yah, masih sibuk?
Aku mau ngomong serius.
Penting ini.
Tanda bahwa pesan sudah dibaca belum juga muncul meski sudah beberapa jam berlalu. Padahal ... Faza tidak akan pernah memaksa untuk bicara jika memang tidak penting. Ayahnya seharusnya sadar akan hal tersebut.
Tetapi, tetap saja, pekerjaan masih menjadi pemenang. Menjadi penghibur bagi Andra atas kepergian istrinya yang bahkan sudah lebih dari satu dekade. Melupakaan keberadaan anak yang menunggu untuk dilihat.
Kepergiannya nanti benar-benar tidak akan ada pengaruhnya bagi Andra.
Menyakitkan.
Andra mungkin berpikir kehidupannya sudah berhenti, tapi Faza masih hidup ... bukan?
Meski dengan ada banyak kemungkinan yang kemarin sempat dijelaskan oleh dokter, Faza tetap berharap bisa terus hidup sampai dewasa. Satu permasalahan yang pasti, Faza masih terhitung manusia di bawah umur sehingga masih memerlukan orang tua. Permasalahan kedua, Andra tidak akan pernah bisa hadir dengan cepat.
Apa semuanya akan berakhir sia-sia?
Rasa bosan dan takut yang menjadi satu tanpa kehadiran seseorang yang mampu mendukung, Faza rasanya ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Keluhan yang dirasa sudah berkurang, walau penyakit sialan tersebut masih berada di tubuhnya. Rasa rindu pada tempat yang tidak terasa hangat ternyata mampu membuat emosinya semakin memuncak.
Tangan Faza meremas ponsel sebelum melemparnya begitu saja. Tidak ada yang bisa diharapkan. Dibanding dengan Naafi, ia mungkin akan mati sendiri.
Faza masih punya mimpi, namun hal tersebut tidak lagi berguna.
Faza hanya ingin segalanya cepat berakhir.
Ia ingin segera pulang.
•••
Rasa mual masih terasa begitu menyiksa ketika Naafi membuka mata. Merasakan tangan kirinya yang sedikit kram, ia lantas menoleh. Memperbaiki posisi tubuh yang terasa tidak mengenakkan hingga membuat Naafi seolah kaku.
Apa yang terjadi tadi ... Naafi tidak bisa benar-benar mengingatnya.
Sosok Karina yang tiba-tiba ada di sisi, menggenggam jemari Naafi, sebelum kembali tersenyum. Begitu hangat dan penuh rasa lega, meski kelelahan tampak begitu jelas tergambar. Bisa dipastikan, Karina langsung berlari dari poli atau ruangan lain, begitu dikabari oleh perawat yang sedang berjaga.
"Hai." Sapaan yang sama hangatnya terdengar. Tidak juga membuat Naafi membalas senyum. Raut wajah yang datar, sebelum mengenyahkan tangan Karina dengan sisa tenaga yang dimiliki.
Naafi tidak mampu bersuara. Tubuh yang terasa lemah, ketidaknyamanan yang membuat ringisan keluar begitu saja. Tetap, kehadiran Karina tidak dapat membuat semuanya menghilang.
"Bunda kenapa di sini?" Pertanyaan yang kemudian terlontar begitu saja membuat Karina terhenyak. Rasa lega kemudian berubah. Senyum yang terpatri mendadak luntur.
Naafi tidak pernah bisa berubah.
"Kenapa Bunda di sini?" Karina mengulang kalimat Naafi. "Jelas karena kamu. Menurut kamu, karena apa?"
"Aku nggak butuh." Naafi melanjutkan. Sulit untuk mengucapkan kalimat tersebut, namun ia berharap sang bunda bisa mengerti; harapan itu sudah tidak ada lagi.
Tangan Karina terangkat, mengusap puncak kepala Naafi. Cairan yang terlihat di sudut mata perlahan ia hapus. Getir terdengar di nada suara Naafi, dan Karina masih bisa menangkap sedikit keinginan.
Meski Naafi terus menolaknya.
Jauh di dalam hatinya, Naafi pasti ingin terus hidup.
•••
Faza tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Ketika ia membuka mata, sosok Angkasa duduk di kursi, memainkan ponsel, sebelum menyadsri bahwa Faza sedang menatapnya.
"Lah, bangun." Angkasa menceplos. "Gue kira, lo bakal tidur sampai besok."
"Kenapa lo di sini?"
"Karena lo yang minta," jawab Angkasa. Ia meletakkan ponsel, melepaskan headphone dari telinga. "Katanya, lo kesepian. Ayah lo nggak bisa datang lagi, 'kan?"
Faza jadi teringat pesan yang ia kirim sebelum benar-benar terlelap. Berharap ada orang yang akan datang menemani, meski bukan sang ayah. Pada akhirnya, mungkin hanya teman yang dapat menemani.
"Lo nggak bilang ke ayah lo kalau lo sakit?" Angkasa kembali berucap. "Za, ayah lo udah keterlaluan. Pekerjaan emang penting, tapi anak juga penting, 'kan?"
Faza tersenyum getir. Setidaknya, kini ada orang yang duduk di sisinya.
"Gue takut banget sebenernya, Sa," ucap Faza tiba-tiba. "Gue pengin banget marah sama ayah gue. Bisa-bisanya dia nggak peduli sama gue. Rasanya, gue juga nggak mau peduli sama diri gue sendiri. Gue pengin banget nyusul bunda gue. Karena—"
"Lo bicara ngaco lagi," potong Angkasa. Ia bangkit, menatap kolf infus yang tergantung di tiang. Membaca stiker yang tertempel di sana. "Tramadol itu apa? Obat, ya? Bikin lo ngaco? Gue bakal bilangin ke dokter lo buat nggak ngasih obat itu lagi."
Faza menggeleng pelan. Ia berusaha bangkit, melipat kedua kakinya.
"Za, apa yang lo rasain itu valid, tapi jangan sampai lo bilang begitu." Angkasa kembali mengalihkan pembicaraan. "Lo tahu kalau ada gue, ada teman-teman yang lain. Lo juga punya pacar, ya. Bisa-bisanya lupa. Lo bisa pulang ke rumah gue setiap saat. Lo bisa gue temenin ke studio. Kalau lo butuh apa-apa, lo bisa langsung hubungin gue."
Seperti ada sesuatu yang mengatakan bahwa hal tersebut akan merepotkan, jadi Faza memilih untuk menunduk. Memeluk kedua lututnya. Ayahnya mungkin tidak terlalu peduli, tapi masih ada sahabatnya.
"Jangan pendam semuanya sendiri, Za. Nggak cocok buat lo."
Faza tertawa pelan. "Padahal gue pernah bilang kalau gue jago jaga rahasia."
"Ya, lo emang jago jaga rahasia. Tapi, yah." Angkasa kembali duduk di kursi. "Lo kelihatan menyedihkan banget sekarang."
"Ya, karena sebentar lagi gue mungkin bakal mati." Faza menarik napas panjang. Mengangkat kepala dan tersenyum lebar. "Karena gue nggak mau mati sendiri, tolong jangan jauhi gue, ya."
Angkasa ingin membalas, namun binar penuh harap terlihat di kedua netra Faza. Membuat ia tersadar bahwa Faza benar-benar serius dengan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Senja Terakhir
Fiksi RemajaPokoknya, semua orang di SMA Bintang pasti mengenal sosok laki-laki bernama lengkap Faza Ghaisan Saskara, si social butterfly yang punya teman sampai ke pelosok kelas, anggota band sekolah yang fans-nya sudah tidak bisa dihitung lagi, ditambah salah...