rupture

755 114 5
                                    

Faza memutuskan untuk pulang ke rumah. Selain karena keluhan yang sudah cukup teratasi, kemungkinan tidak adanya tindak lanjut tindakan sebelum persetujuan orang tua. Oleh karena itu, daripada merasa semakin lama dan semakin bosan, Faza meminta untuk pulang saja.

Setelah infus dilepas dari tangannya yang sudah mulai membengkak, pada akhirnya Faza bisa merenggangkan tubuh. Nyerinya mungkin masih sedikit terasa, namun Faza masih bisa menahannya. Setidaknya, Faza kini biaa bebas dari penjara bernama rumah sakit tersebut.

"Naaf, gue balik duluan, nih. Lo belum ada rencana bakal pulang?" Faza berdiri di depan bed Naafi. Tersenyum sambil sedikit memiringkan kepala. Bukan bermaksud pamer, namun dari pandangannya, kondisi Naafi juga sama baiknya.

Lagipula, apa rasanya dua minggu berada di tempat yang sama?

Naafi berdecak pelan, membuang pandangan hingga tidak lagi menatap Faza. Mau sesuka apapun ia pada kesendirian, berada di rumah sakit setelah sekian lama mampu membuat Naafi merasa bosan.

"Oh, ya." Faza kembali berbicara meski tahu Naafi tidak akan benar-benar menyimak. "Gue serius soal omongan gue kapan hari itu. Kalau lo nanti keluar dari sini terus butuh teman, lo boleh banget nyamperin gue. Gue sama yang lain bakal nemenin lo, kok."

"Lo nggak bakal ngerti," balas Naafi lirih. Ia menunduk dalam. Benar-benar ingin memutuskan percakapan mereka. "Orang yang punya hidup sempurna kayak lo ... nggak akan pernah ngerti."

"Kata siapa—"

"Lo bahkan nggak pernah tahu gimana rasanya benar-benar sendirian, 'kan? Nggak usah sok peduli sama eksistensi gue."

Faza baru kali ini mendengar Naafi berbicara panjang. Namun, yang ia dengar hanya keputusasaan. Padahal, di hadapannya Faza juga sama, hanya berusaha untuk menghadapinya dengan cara yang berbeda.

Pada akhirnya, Faza tidak dapat lagi membalas. Membiarkan Naafi dengan pikiran buruknya sendiri dan beralih. Langkah yang terkesan lambat, sekali lagi Faza menoleh, sebelum akhirnya berbicara, "Gue nggak tahu udah seputus asa apa lo sama hidup lo sendiri. Tapi, biar gue kasih tahu satu rahasia gue. Kalau lo ngerasa bakal mati sebentar lagi, gue juga sama."

Naafi tertegun untuk sesaat. Beberapa kali mendengar percakapan Faza dengan dokternya, tetapi ia tidak pernah benar-benar peduli. Kepala yang kemudian terangkat menatap Faza penuh tanda tanya.

"Karena kita bakal sama-sama mati, gimana kalau kita sama-sama bahagia? Seenggaknya, hidup tanpa penyesalan ... gitu?"

Naafi tidak menjawab, karena setelahnya Faza benar-benar hilang dari pandangan.

•••

Faza tidak pernah menyangka lampu rumah akan menyala. Padahal, tidak ada tanda-tanda Andra akan pulang. Namun, begitu melihat mobil yang terparkir, senyum lebar Faza merekah. Kedua kakinya berlari dengan cepat, tidak memedulikan apapun.

Pada akhirnya, ayahnya pulang ke rumah.

Pintu rumah yang terbuka setelahnya, sosok Andra dengan wajah yang tampak dingin. Tidak ada sambutan hangat ketika Faza memijakkan kaki ke dalam sana.

Lalu, satu hal yang Faza sadari, satu tamparan melayang begitu saja. Membuatnya mundur seraya memegang pipi dengan tangan yang bergetar. Senyum yang mendadak pudar, kedua mata Faza kemudian tampak berkaca-kaca.

"Masih ingat buat pulang kamu?" Pertanyaan itu terdengar begitu keras di telinga Faza.

Bukankah itu juga pertanyaan yang sama untuk Andra?

Sejak kapan Andra ingat masih memiliki seorang putra yang dibiarkan sendirian?

"Sekalian saja nggak usah pulang. Tidur sana di studio nggak bergunamu itu."

Padahal, selama ini Andra yang tidak pernah memiliki waktu untuk mendengar penjelasan Faza.

"Sekali saja, Faza. Dengar apa kata Ayah. Nilai kamu turun dan kamu masih bisa main terus begitu. Kamu udah nggak peduli sama masa depan atau gimana?"

Padahal, Faza mungkin sudah tidak memiliki masa depan lagi.

Rasa sakit yang Faza rasakan tidak lagi ia pedulikan. Sebelum bibirnya berkata, kedua kaki Faza membalik tubuh. Masih tidak percaya dengan apa yang Andra lakukan, namun tidak juga ingin meminta penjelasan.

Sepertinya memang benar, rumah bukan lagi rumah bagi Faza.

Di Penghujung Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang