epilog

1.1K 125 15
                                    

Faza tidak pernah berada di situasi semacam ini. Sebelumnya, Faza yang berdiri di atas panggung dengan senyum lebar. Tidak lupa dengan binar yang menambah indah kedua bola mata beriris dwiwarnanya. Biasanya, Faza akan menciptakan suasana yang berbeda. Memberikan penampilan terbaik bagi mereka yang berada di sana.

Tetapi, kini, Faza hanya dapat berdiri di bawah. Menjadi saksi bagaimana orang-orang di sekitarnya ikut terlarut dengan penampilan mereka yang berada di atas panggung. Merasakan euforia ketika suara sorakan terdengar. Ditutup dengan senyum lebar, Faza ikut tersenyum di bawah sana.

Seharusnya ... Faza juga bisa ada di atas panggung. Namun, dirinya berada di sini juga merupakan sebuah keajaiban. Meski dengan kekurangannya kini.

Meski ... Faza tidak seperti dulu lagi.

Tetap, Faza bersyukur ia dapat menepati janjinya untuk berada di sana.

Penampilan ditutup dengan seluruh anggota yang menunduk, memberi salam. Lalu, keempat sosoknya menghilang di balik tirai. Meninggalkan sorakan yang menjadi penutup acara di sore hari ini.

Tanpa menunggu waktu, Faza ikut berjalan ke area belakang panggung. Dengan senyum lebar, Faza bertepuk tangan—setidaknya, begitu maksud Faza, meski tangan kanannya sulit untuk digerakkan.

"Selamat!" seru Faza heboh. "Penampilan kalian keren banget. Gue nggak nyangka, tanpa gue, kalian juga bisa."

"Makasih, ya, udah nyempetin buat datang." Angkasa yang pertama kali berbicara. "Lo baru pulang fisioterapi, 'kan? Lo pasti capek banget. Gimana perkembangan tangan lo?"

Faza diam sejenak. Berusaha tersenyum, meski rasanya begitu sulit. "Udah lebih baik dari kemarin. Kadang masih sakit banget, tapi nggak masalah. Gue merasa udah sehat banget sekarang," jawabnya.

"Bagus lah." Angkasa menepuk pundak Faza, kemudian merangkulnya. "Sebentar lagi, lo pasti bisa pulih sepenuhnya."

"Ya, lo nanti gantiin gue, ya." Kana menimpali. "Gue udah lulus sekarang. Lo bisa gantiin posisi gue, oke?"

Faza menganggukkan kepalanya dengan cepat. Ia mungkin masih bisa berada di atas panggung, memanfaatkan suaranya. Maka dari itu, Faza harus cepat pulih.

"Ya, pasti," jawab Faza pada akhirnya. "Tapi, sesekali lo juga harus datang, ya. Kalau nggak terlalu sibuk sama dunia perkuliahan lo."

"Tentu. Gue bakal ngawasin kalian pas latihan."

Di belakang, Naafi tertawa pelan. Napasnya terasa begitu sesak, hingga ia memilih mundur ke belakang. Meski begitu, senyum tidak juga luntur.

"Kayak apa yang gue bilang kapan hari itu, kapan-kapan kita ikut lomba, ya. Jadi, nggak sebatas penampilan di sekolah aja." Varo berbicara. "Formasi kita udah pas banget. Kita pasti bisa terkenal."

Ah, andai Naafi bisa.

"Ide bagus, tuh. Biar ayah gue tahu, main musik juga bisa ngasih masa depan."

"Masih aja dilarang, ya, setelah sekian lama."

"Nggak juga, sih."

Naafi berusaha menarik napas. Meraih dada yang terasa begitu sesak. Ia ingin terus bertahan, tidak ingin melewatkan momen hari ini sama sekali. Rasa baahgia yang memenuhi perasaan berganti dengan rasa takut. Detak jantung yang makin cepat, Naafi tanpa sengaja memundurkan tubuh. Berusaha mencari pegangan.

"Iya, 'kan—Naaf, lo nggak apa-apa?" Faza yang pertama kali sadar. "Lo capek? Mau istirahat?"

Naafi menggeleng pelan, tersenyum lebar meski peluh sebesar biji jagung membasahi keningnya.

"Gue cuma ngantuk dan harus minum obat sedikit," jawab Naafi. "Gue tidur sebentar di studio, ya."

"Lo kelihatan nggak baik-baik aja. Mau gue temenin?"

Lagi-lagi, Naafi menggeleng.

Ia tidak ingin menghancurkan momen mereka.

"Gue ke studio, oke?"

Faza awalnya ingin mengikuti, namun Naafi tampak tidak ingin ditemani. Jadi, meski dengan pandangan khawatir, Faza tetap berada di sana.

"Kalau ada apa-apa, langsung hubungi gue, ya."

"Iya." Lalu, dengan senyum hangatnya, Naafi berlalu begitu saja.

Tanpa ada yang menyadari, bahwa mungkin senyum itu adalah senyum terakhir yang terulas di wajah Naafi.

•••

"Halo, Naaf? Kamu udah mau pulang? Mau Bunda jemput?"

"Bunda ...." Naafi berucap pelan. "Maaf."

"Kenapa kamu minta maaf? Ada masalah? Kamu baik-naik aja, 'kan? Bunda jemput sekarang, ya."

Naafi menggeleng pelan. Merasakan bagaimana rasa sakit terus menyiksa tubuh, meski obat sudah diteguknya. Jantungnya berdetak kuat, membuat rasa mual perlahan mulai Naafi rasakan.

"Maaf, Bun." Suara Naafi terdengar bergetar. Napasnya putus-putus. "Aku bahagia banget hari ini. Tapi ... aku capek."

"Naafi, Bunda ke sana sekarang. Jangan matikan teleponnya. Kamu udah minum obat?"

"Aku ngantuk banget." Kedua kelopak mata Naafi mulai sesekali terpejam. "Aku cuma mau tidur. Boleh?"

"Naafi, jangan—"

"Makasih, ya, Bun. Karena perjuangan Bunda, aku bisa ngerasain bahagia semacam ini." Air mata mengalir dari sudut mata Naafi. "Di sini hangat banget. Aku ... mungkin aku bisa tidur nyenyak."

Naafi ingin melupakan rasa sakit yang menyiksa. Ia ingin tidur dengan begitu tenangnya. Jadi, tanpa peduli apapun lagi, termasuk panggilan bundanya, Naafi terpejam.

Setidaknya, untuk hari ini, Naafi dapat tertidur lelap tanpa rasa takut.

•••

"Naaf, lo di dalam?" Faza membuka pintu studio perlahan. Menyembulkan kepala dan memperhatikan sekitar. Lalu, ketika melihat Naafi berbaring di sofa, Faza membuka pintu lebar-lebar.

"Woi, udah mau malam. Lo nggak mau pulang?" Faza kembali berujar. Memperhatikan bagaimana semburat cahaya matahari senja mengenai wajah Naafi dengan senyum tercetak di bibir, namun laki-laki itu seperti tidak terganggu sama sekali.

"Gue sama yang lain mau ke rumah Bang Kana, mau bakar-bakar. Lo mau ikut, nggak?"

Tidak ada jawaban sama sekali. Hal tersebut membuat Faza merasa heran. Kedua tungkai yang berjalan mendekat secara perlahan. Detak jantung yang ikut mencepat.

Lalu, ketika Faza berada tepat di samping Naafi, ia baru menyadari.

Di senja hari ini, Naafi sudah pulang ke rumah abadinya.

•selesai•

Di Penghujung Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang