kontraindikasi

819 95 3
                                    

"Jadi ...." Faza mengusap belakang kepalanya. Merasa canggung, padahal seharusnya tidak. Terhitung sudah dua tahun ia sekelas dengan Naafi. Sering saling senggol di perolehan nilai ujian pula. Tapi, sejujurnya dua tahun ini Faza tidak pernah menggubris keberadaan Naafi.

Satu hal yang Faza tahu, laki-laki itu sering tidak masuk sekolah. Sering pula menjadi bahan cemoohan karena, katanya, sering menjadi beban kelompok. Posisi duduknya yang jauh di belakang, sementara Faza duduk di posisi paling strategis—tepat berada di tengah kelas.

"Lo sakit?"

Kondisi tirai yang tidak tertutup membuat Faza menyadari bahwa Naafi sedang melirik tajam. Pertanyaan aneh yang Faza lontarkan seharusnya tidak memerlukan jawaban. Jadi, Faza paham kenapa Naafi tidak juga bersuara.

"Gue juga," ujar Faza kemudian. Berdeham pelan. Merasa nyaman karena rasa sakit yang ia rasakan berkurang, efek penggunaan obat antinyeri yang dicampurkan dengan cairan infus. "Lo sakit apa?"

Tidak langsung ada jawaban, hingga akhirnya Faza memutuskan untuk bangkit. Menarik tiang infusnya agar dapat bergerak tanpa menyebabkan darah menaiki selang. Keduanya mungkin tidak akrab, namun Faza berusaha agar kebosanannya bisa teratasi dan salah satu caranya adalah dengan berinteraksi.

Toh, mereka adalah teman sekelas dan seharusnya tidak canggung, 'kan?

Menarik bangku, Faza duduk di sana. Memperhatikan Naafi yang sedang memainkan ponselnya lekat-lekat.

"Lo udah lama di sini, ya? Terakhir gue lihat lo kayaknya ... dua minggu? Dua minggu lalu, ya?" Faza melanjutkan. "Lo sakit apa? Lo sering banget dirawat, ya?"

"Demam," jawab Naafi pada akhirnya.

"Demam? Sampai—"

"Demam berdarah."

Faza mengangguk mengerti. Paham bahwa dirinya mungkin menjadi pengganggu di sana. Jadi, Faza memutuskan untuk bangkit. Kembali menarik tiang infusnya. Berjalan mengelilingi kamar yang terasa kosong, sebelum akhirnya berhenti di depan jendela.

"Ini bukan pertama kalinya gue dirawat di rumah sakit, tapi pertama kalinya gue beneran ngerasain rasanya rawat inap," ucap Faza kemudian. "Kalau kata ayah gue, sih, dulu gue pernah dirawat juga, sebulan lebih malah. Di NICU. Gue nggak tahu, sih, tepatnya karena apa."

Naafi secara ogah-ogahan mendengarkan. Ia bukan pembicara yang baik, namun juga bukan pendengar yang baik. Rasanya, Naafi jadi merindukan ketenangan yang kemarin ia rasakan.

"Setelahnya, gue nggak pernah tahu gimana rasanya diinfus. Disuntik aja kalau vaksin. Demam juga cuma anget-anget sedikit." Faza tertawa pelan. Jemarinya menyentuh teralis jendela. Tidak peduli apakah Naafi mendengarkan atau tidak. "Yah, gue juga kaget karena hari ini harus rawat inap. Lo jangan kasih tahu siapa-siapa, ya, kalau gue sakit."

Siapa pula orang yang akan Naafi beri tahu?

Senyum Faza terbit kemudian. Melihat bagaimana orang-orang yang tetap beraktivitas, meski dirinya tidak mampu seperti mereka. Kemungkinan besar, jika Faza menyusul bunda, ayahnya akan tetap sama, bukan? Menjadi seorang maniak bekerja yang jarang pulang ke rumah.

"Oh, ya. Lo nggak ditungguin sama orang tua lo?" Faza bertanya. Membalik tubuh sehingga dapat melihat sosok Naafi. Ia sedikit meringis saat infus yang masuk ke dalam pembuluh darahnya seperti bergeser. "Lo nggak kesepian? Gue lihat-lihat, selama di sekolah lo juga sendirian."

"Kesepian?" Naafi bergumam pelan. Menunduk, menatap kedua tangannya yang terasa dingin. "Nggak pernah."

Faza lantas memandang Naafi skeptis. Ia mungkin tidak terbiasa sendirian. Dirinya juga selalu berusaha berbaur dengan orang lain. Faza dapat berkata bahwa ia tidak suka sendirian dan kesepian. Makanya itu, Faza tidak dapat mengerti kenapa ada orang yang tidak kesepian saat berada di satu ruangan sendiri.

"Yah, tiap orang beda-beda, sih, ya," ucap Faza pada akhirnya. "Gue sering lihat diri gue sendiri kayak Vicugna pacos. Lo tahu? Hewan yang bisa mati karena kesepian."

"Gue tahu alpaca."

"Um, ya. Alpaca. Mirip llama, ya." Faza berdeham pelan. Sepertinya, diam akan menjadi pilihan yang tepat. Oleh karena itu, Faza memutuskan untuk kembali ke tempat tidurnya dan berbaring di sana. Sementara Naafi, dengan senang hati menikmati keheningan kembali.

•••

"Aku kira, Bunda bakal pulang ke rumah setelah poli."

Karina tersenyum lebar. Tanpa suara mengeluarkan kotak makan dari dalam tas. Lalu, menarik meja untuk makan dan meletakkan kotak tersebut di sana.

"Bunda bawa makanan buat kamu," ucap Karina. "Sayur kungkang kesukaan kamu!"

"Kangkung, Bun. Kenapa, sih, nyebutnya kungkang terus?"

Karina terkekeh sendiri. Sebaliknya, Naafi tidak menghadirkan ekspresi terhibur sama sekali. Sayang, Karina tidak ingin menghiraukan ketidaktertarikan sang putra.

"Bunda tahu, kamu pasti bosen banget sama makanan rumah sakit. Apalagi diet jan—"

"Bun, nggak usah dibahas," potong Naafi cepat. Bisa-bisa, teman yang berbaring di tempat tidur sebelah itu akan mendengarnya. "Aku nggak mau bahas masalah itu."

"Emang kenapa, sih?" Karina mengambil sekotak nasi yang sudah disiapkan. "Penyakit itu bukan hal yang memalukan. Kamu nggak perlu ngerasa rendah karena penyakit yang kamu derita. Justru, kamu seharusnya ngerasa spesial. Karena jantung kamu istimewa."

Masalahnya, siapa yang menyukai keistimewaan itu?

"Oh, Bunda mau bagi makanan ke pasien sebelah juga. Baru masuk, ya?"

"Ya."

"Kamu udah kenalan sama dia? Seumuran kamu?"

Naafi membuang pandangan. "Teman sekelas aku."

"Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?" Karina segera bangkit. Membuka tirai lebih lebar lagi, membuat laki-laki yang sedari tadi menyimak obrolan mereka terkejut, seolah tertangkap basah.

"Oh, hai, Tan." Faza melambai canggung. "Aku Faza. Baru masuk hari ini."

Karina bangkit, berganti duduk ke sebelah Faza. "Naafi pasti jutek banget ke kamu. Maaf, ya. Emang dia kayak gitu dari lahir. Saking juteknya, pas lahir sampai nggak mau nangis."

Faza melirik Naafi yang menunduk. Tampak semburat merah di pipi laki-laki tersebut, merasa malu karena dirinya dijadikan topik pembicaraan.

"Tapi, Naafi anak yang baik. Buktinya, dia punya teman banyak di sekolah. Iya, 'kan?"

Faza tidak dapat menyembunyikan raut keterkejutannya sama sekali. Banyak teman dari mananya? Bahkan, Faza yakin tidak ada orang yang bisa dipanggil sahabat oleh Naafi.

"Ah, tapi, Tante nggak percaya, sih. Dua minggu dirawat, Tante nggak pernah ketemu sama teman sekelasnya sama sekali," lanjut Karina. Ia menarik meja untuk makan, ke dekat Faza. "Oh, ya. Tante bawa sayur kungkang. Kamu suka? Makan juga, ya. Kebetulan, jam makan malam udah lewat."

Faza tertegun, seolah melupakan ucapan Karina sebelumnya. Fokusnya kini ada pada sayuran hangat yang tersaji di atas meja. Begitu menggugah selera, hingga Faza enggan untuk menolak.

Ketika satu suapan berakhir di mulut, kedua manik mata Faza tampak berkaca-kaca.

Apa begini rasanya masakan hangat dari seorang ibu?

Di Penghujung Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang