abulia

745 112 9
                                    

Faza tidak pernah menyangka bahwa Andra akan berdiri di depan pintu ketika ia pulang ke rumah. Senyum yang tampak mencurigakan, Faza sampai berhenti berjalan. Secara nyata menampar pipi sendiri.

"Ayah kenapa?" Faza bertanya. Ia pelan-pelan mulai maju. Takut tiba-tiba akan terkena omelan lagi karena terlambat sampai rumah. Salahnya yang memutuskan untuk latihan sore hari ini, padahal hubungannya dengan Andra belum membaik.

"Gimana sekolah kamu hari ini? Baik-baik aja? Kamu udah makan?" Bukan menjawab, Andra malah balas bertanya. Meraih tas milik Faza dan membawanya. Dengan sebelah tangan, merangkul sang putra, menggiringnya memasuki rumah. "Ayah pesan makanan kesukaan kamu. Maaf, ya, selama ini belum pernah masak buat kamu."

Faza terkesiap. Langkah lambatnya terpaksa menyesuaikan dengan langkah lebar Andra. Kepalanya pening, pusing memikirkan sikap ayahnya yang berubah secara tiba-tiba.

"Ayah ... ada apa? Aku buat salah lagi?" Faza kembali bertanya. "Yah, maaf. Aku hari ini pulang telat. Aku—"

Andra menggeleng, membuat Faza berhenti berbicara. "Bukan, bukan. Nggak usah dibahas. Sekarang, kamu ganti baju, cuci kaki, terus makan," potong Andra cepat.

Meski perubahan itu membuat perasaan Faza menghangat, namun tetap saja terasa menyeramkan. Tiba-tiba saja sikap Andra berubah. Padahal, sejak kemarin raut wajahnya tampak begitu keras.

"Aku takut," ungkap Faza. "Ayah nggak kesurupan, 'kan?"

Andra tertawa pelan. Mengacak rambut Faza. Entah sudah berapa lama ia tidak pernah menunjukkan perhatian lebih pada putranya itu. Ada rasa canggung yang cukup membuat pergerakan tangannya terasa begitu kaku.

"Ayah ... mungkin cuma pengin nebus semua kesalahan yang pernah Ayah buat," balas Andra. "Maaf, selama ini nggak pernah merhatiin kamu. Karena selama ini nggak pernah ngacuhin pesan yang kamu kirim. Padahal ... kamu butuh Ayah, ya."

Faza selalu ingin mendengar hal tersebut. Tetapi, rasanya tetap aneh ketika tiba-tiba Andra mengungkapkannya tanpa alasan yang pasti.

Atau mungkin ....

"Ada sesuatu tentang aku yang baru Ayah tahu, ya?" Faza kembali bertanya. "Ayah masuk kamar aku?"

Andra terdiam. Menunduk dalam. "Jadi, itu semua yang mau kamu bicarain, ya? Tentang ... masalah itu."

Faza seharusnya senang karena Andra sudah tahu tanpa perlu susah-susah menjelaskan.

Seharusnya ia senang.

Namun ....

Apa perubahan ini hanya terjadi karena akan hal buruk yang akan terjadi pada hidup Faza?

"Nyebelin." Faza bergumam pelan. Sedikit merasa kecewa dengan pikirannya sendiri. Padahal, bisa jadi Andra memang benar-benar tulus, walau pasti ada sedikit campur tangan sakitnya. "Kalau Ayah nggak buka-buka kamar aku, Ayah pasti nggak akan pernah tahu. Ayah juga nggak akan peduli sama aku, 'kan?"

Andra tidak bisa menjawab sama sekali. Nyatanya, keberadaan Faza selalu membuatnya merasa sedih. Merasa enggan untuk pulang ke rumah hingga memutuskan untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan, tanpa menyadari bahwa laki-laki itu membutuhkan dirinya.

"Maaf," ucap Faza kemudian. "Aku seharusnya senang. Ya, bukan seharusnya, tapi aku senang karena Ayah berubah tiba-tiba. Walau karena aku sakit. Atau karena Ayah tahu waktu hidup aku tinggal sebentar. Aku nggak masalah, karena aku bisa bahagia di akhir hidupku."

Andra tidak dapat berkata-kata sama sekali. Ucapan Faza menunjukkan harapan yang sudah tidak bersisa. Waktu yang terlalu lama, dan sikap Andra yang membuat Faza jauh merasa lebih sakit. Seharunya, orang yang meminta maaf adalah Andra. Selama ini, ia sudah menjadi orang tua yang buruk bagi sang putra.

"Jangan ngomong begitu, Za," ujar Andra pelan. Ia bukan orang yang ahli berbicara. Apalagi di hadapan Faza. "Ayah bakal usahain semuanya. Buat kesembuhan kamu. Apapun itu, seberapa banyak yang harus Ayah keluarin, Ayah nggak masalah. Hal yang paling penting, Ayah bisa tetap lihat kamu."

Keinginan itu terlalu muluk-muluk bagi Faza yang sudah tidak memiliki harapan. Ia hanya ingin bisa tenang di akhir hidupnya. Ingin membiarkan dirinya bisa bahagia, tanpa terus merasa sakit. Apalagi dengan berbagai tindakan invasif.

Faza ... hanya ingin bisa memaknai akhir hidupnya.

"Kalaupun aku hidup lama, aku nggak akan punya masa depan lagi, Yah," lirih Faza. "Aku bakal kehilangan banyak kemampuanku. Aku bakal jadi anak yang ngerepotin Ayah. Aku nggak akan pernah bisa ngebuat Ayah bangga. Aku ... nggak akan pernah bisa kuliah, kayak apa yang Ayah pengin. Aku nggak akan bisa nerusin harapan Ayah.

"Aku ... mungkin aku masih hidup, tapi kalau emang itu benar-benar terjadi, berarti aku udah mati, Yah. Hidupku nggak akan berguna lagi." Faza menunduk dalam. Hendak berlalu, tidak ingin tampak begitu rapuh di hadapan Andra. Namun, tubuhnya ditahan, dihantarkan pada pelukan seerat mungkin yang membuat air matanya perlahan meluruh.

Usapan lembut pada belakang kepala Faza. Dekapan hangat yang membuatnya seperti kembali pulang ke rumah. Rasanya ... semua itu begitu menyenangkan.

"Jangan pernah bicara begitu," balas Andra. "Mau gimana pun keadaan kamu nantinya, kamu nggak akan pernah jadi beban Ayah. Kamu tetap anak Ayah, kebanggan Ayah. Seseorang ...."

Andta menarik napas panjang. "Seseorang yang paling berharga buat Ayah."

Faza tidak bisa menahan isakannya sama sekali. Kedua kelopak mata yang terpejam. Ia tidak ingin kehilangan momen hari ini.

Untuk selamanya, Faza ingin tetap merasakan kehangatan ini.

•••

Karina tidak pernah menyangka akan mendapati Naafi tampak tersenyum ketika pulang ke rumah. Tampak tanpa beban, meski jam pulang sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Merasa heran, Karina kemudian bertanya, "Sayang, kamu kenapa?"

Naafi menggeleng cepat. "Aku lagi senang banget hari ini," jawabnya panjang, sesuatu yang tidak pernah Karina sangka. "Aku hari ini gabung ke band sekolah. Aku ketemu banyak orang yang bisa nerima aku."

Karina lantas ikut tersenyum mendengar ucapan Naafi. Mengusap puncak kepalanya lembut. "Naaf, Bunda senang banget karena kamu udah mulai bisa punya teman," ucapnya terharu. Enam belas tahun dan ternyata Naafi masih tahu cara berinteraksi.

"Aku mungkin bakal sering pulang telat. Nggak apa-apa, 'kan?"

Karina mengangguk pelan. "Ya, ya. Nggak apa-apa," jawabnya. "Asal, kamu selalu ingat kewajiban kamu, ya. Jangan lupa juga check up. Biar kamu ... bisa terus ngerasain kebahagiaan ini selamanya."

Naafi tidak pernah menyangka bahwa ia akan mengangguk cepat. Harapan yang mulai mengisi hatinya. Hingga membuat Naafi berpikir.

Ia ingin hidup jauh lebih lama lagi.

Di Penghujung Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang