inversi

887 95 12
                                    

Mengikuti saran Andra ternyata cukup menjadi penyesalan bagi Faza. Berbaring di atas bed rumah sakit. Menatap langit-langit kamar yang terasa kosong. Andra izin pergi membeli makan, meninggalkan Faza kesepian sendirian.

Permasalahan selanjutnya, Faza jadi merasa lebih takut jika harus berada seorang diri di sana. Memikirkan bagaimana akhir tindakan yang dilakukan besok. Masalahnya, Faza tidak pernah sekalipun merasakan dinginnya kamar operasi.

Berdasarkan penjelasan dokter, hal yang dilakukan sebenarnya sederhana. Hanya mengangkat tulang yang terkena sel kanker dan menggantinya dengan implan. Masalahnya, karena hal tersebut pula, fungsi dari tangan kanannya pasti akan menurun drastis. Meski tidak benar-benar kehilangan, namun pastinya membuat Faza tidak bisa melakukan apapun dengan sempurna.

Lalu, getaran panjang dari ponsel membuat Faza mengerjapkan. Meraih ponsel yang tergeletak di sisi, sebelum melihat layar. Nama Angkasa beserta fotonya terlihat di sana sebagai panggilan masuk. Tanpa menunggu waktu, Faza menjawab panggilan tersebut. Menekan opsi loudspeaker dan meletakkan benda tersebut kembali ke atas pangkuan.

"Ha—"

"Kita udah mau sampai rumah sakit. Kamar lo yang mana?" Belum sempat Faza menyelesaikan ucapannya, suara Angkasa terdengar memotong, agak sedikit berisik. "Masih sama kayak kemaren?"

"Ya ...." Faza mengerjap tidak mengerti. "Lo mau ngapain ke rumah sakit?"

"Aduh, masa nggak ngerti, sih? Padahal, lo juara paralel." Suara decakan terdengar beberapa kali. "Ya, mau jengukin lo. Katanya, besok lo operasi, 'kan?"

"Oh ... ya, begitu." Faza berdeham pelan. "Gue agak malu sebenernya. Tapi, ya udah. Ke sini aja. Ayah gue kebetulan lagi mau beli makan. Lo pada mau nitip apa?"

"Nggak usah. Kita juga bawa makanan banyak. Lo ada pantangan?" Angkasa balas bertanya. "Eh, nanti dulu. Kamar lo yang mana? Kita udah sampai."

"Kamar kemarin, 715," jawab Faza pada akhirnya. "Gue tunggu, ya."

"Oke. Lima menit lagi kita sampai sana."

Faza tidak dapat menahan senyumnya sama sekali. "Oke."

•••

Ruangan yang semula sepi, kini dipenuhi oleh percakapan empat orang yang baru tiba beberapa menit lalu. Dua orang duduk di sofa, sementara dua orang lagi memilih untuk berdiri di sebelah bed. Beruntungnya, sedang tidak ada pasien lain di ruangan tersebut. Meski begitu, Faza tetap mewanti-wanti mereka agar tidak terlalu ribut. Karena tetap saja, rumah sakit butuh ketenangan.

"Jadi, besok operasinya jam berapa?" Angkasa yang pertama bertanya. "Gue bisa, sih, sesekali nemenin. In case ayah lo sibuk lagi."

"Nggak perlu," balas Faza. "Ayah gue janji buat nemenin gue sampai pemulihan nanti. Kalau pun masih sibuk sama kerjaan, katanya doi bakal usaha nemenin selama gue harus fisioterapi. Tapi, ya ... sebenarnya gue takut juga, sih. Kata operasi itu nyeremin banget soalnya."

Naafi berdeham pelan. "Tenang aja," ujarnya. Ia menarik kursi dan duduk di sana. Kakinya lama-lama pegal jika harus terus berdiri. "Gue udah pernah operasi beberapa kali. Sejak usia gue masih hitungan hari malah. Dan sampai saat ini, gue masih hidup."

Ucapan Naafi terdengar meyakinkan, namun tetap saja Faza tidak dapat tenang sama sekali. Meski ditangani oleh orang paling profesional sekali pun, rasa takut pastinya tetap mengganggu. Membuat Faza tidak bisa tidur semalaman.

"Kalau gue masih bisa hidup, lo juga pasti bisa lewatin semuanya." Naafi tersenyum tipis. "Tenang aja, lo pasti baik-baik aja."

Dari apa yang Faza lihat, Naafi sudah benar-benar berubah. Dari yang awalnya tidak berbicara sama sekali, sampai dirinya menjadi seseorang yang bisa Faza percaya, selain Angkasa.

"Nah, begitu." Angkasa menyahuti. "Gue nggak ada pengalaman sama sekali soal itu. Tapi, lo juga harus yakin. Percuma kalau lo nggak yakin sama sekali. Akhirnya besok, pasti yang terbaik buat lo. Dan gue yakin, yang terbaik buat lo adalah tetap bertahan hidup. Ya, 'kan?"

Faza terkekeh geli. Menunduk, menutupi wajahnya yang tampak memerah. Setelah ini, Faza harus membayar semua afirmasi positif yang diberikan. Setidaknya, Faza dapat merasa lebih tenang karena keberadaan teman-temannya.

"Kalau nanti gue nggak bisa apa-apa lagi—"

"'Kan ada gue. Ada Naafi juga. Ada Bang Kana sama Varo. Kita semua bakal bantuin lo, kok. Nggak ada pikiran lo bakal nyusahin atau gimana."

Setidaknya ... karena hal itu, Faza ingin hidup lebih lama lagi.

"Pokoknya, kita bakal sering datang ke sini." Angkasa melanjutkan. "Oh, ya. Nanti kita juga bakal manggung akhir semester. Ngerayain kelulusannya Bang Kana. Lo harus nonton, ya, walau nggak bisa ikut tampil."

"Gue mau jadi manager kalian, boleh, nggak?" Faza bertanya, agak sedikit bercanda. "Nanti, gue jadi yang paling galak. Gimana?"

"Muka lo nggak ada galak-galaknya sama sekali," balas Kana. "Biasanya tebar pesona, tiba-tiba mau sok galak."

Faza mengulum senyum tipis. "Soalnya, setelah ini gue nggak bisa tebar pesona lagi."

"Kasian cewek lo. Punya cowok, kok, hobi tebar pesona."

Tertawa singkat, Faza lalu menghela napas. "Iya, juga, ya."

Naafi menepuk lengan Faza beberapa kali, agak salah posisi, karena lengan kanan yang ditepuk, hingga membuat Faza meringis.

"Pokoknya, lo harus bisa semangat buat besok. Apapun hasilnya nanti, lo udah berusaha yang terbaik buat diri lo." Naafi berdeham pelan. "Kalau kata bunda gue, semua usaha yang kita jalanin nggak akan pernah sia-sia. Apa yang nanti terjadi, pasti itu yang terbaik. Buat gue, kesembuhan itu bonus. Kalau buat lo, kesembuhan bisa jadi hasil akhirnya. Lo ... masih punya banyak kesempatan."

"Ya ...."

"Pas manggung besok, bisa aja itu jadi penampilan pertama dan terakhir gue. Jadi, lo harus hadir, ya." Naafi tersenyum lebar, tampak penuh arti. Binar terlihat menari di kedua bola mata beriris legamnya. "Band ini nggak mungkin bisa sampai di tahap sekarang tanpa lo. Gue mungkin jadi pengganti lo, tapi gue nggak akan bisa benar-benar sama kayak lo. Kalau nantinya lo bisa kembali, gue harap lo bisa."

Omongan Naafi terdengar menyeramkan, namun Faza tetap mengangguk.

"Ya, tentu. Gue pasti bakal kembali suatu hari nanti." Faza berucap, tidak peduli pada takdir mereka ke depannya.

Entah itu akan berakhir baik atau buruk, Faza tidak peduli lagi. Ia hanya harus hidup dan terus bernapas. Karena kini, Faza sudah berada di rumah-nya.

Di Penghujung Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang