pqrst

850 95 8
                                    

Naafi tidak pernah tahu bagaimana akhir hidupnya nanti. Berdiri seorang diri di depan jendela, menatap ke luar. Pada akhirnya, mungkin ia akan tetap berada di dalam kesendirian. Merenungi nasib yang tidak sebaik orang-orang di luar sana.

Kepala yang terasa pening seharusnya menjadi alasan Naafi untuk kembali ke bed, namun ia tidak peduli dengan saturasi oksigen dalam darahnya yang kembali menurun. Terus bergantung pada alat hanya akan menahan kepulangan. Membuat Naafi harus mendekam lebih lama.

Bunda

Naaf, Bunda udah tunggu di poli.

Sekarang jadwal kamu echo, 'kan?

Kenapa lama banget, siiih :(

Cepetan, yuk. Ayah udah ngamuk di rumah, minta dimasakin.

Naafi diam sejenak, tidak membalas sama sekali. Helaan napas yang kemudian terbit mengiringi langkahnya menuju bed. Jemarinya perlahan menekan bel interkom. Bunyi yang terdengar dari luar lantas membuat Naafi merasa tidak enak hati.

Suara ketukan yang diikuti pintu terbuka kemudian mengalihkan fokus Naafi. Ia meraih jaket yang tergeletak mengenaskan di atas kursi kecil, sebelum mengenakannya sebisa mungkin.

"Ada yang bisa dibantu, Kak?"

"Ya." Naafi diam sejenak. Merasakan keputusasaan yang menekan dada. Hasil pemeriksaan hanya menjadi hal yang tidak ingin Naafi dengar dalam hidupnya.

"Katanya, aku harus echo, 'kan? Boleh antar aku sekarang?"

•••

Faza merasa begitu sesak.

Ia sudah berkali-kali pulang ke rumah dalam keadaan hampa. Lampu yang belum juga dinyalakan. Namun, tetap saja, Faza ingin hal itu segera berakhir. Setidaknya, ia ingin ada seseorang yang menyambut ketika Faza membuka pintu.

Tentu, selain penunggu tangga yang biasa menetap di anak tangga ke empat.

Melempar sepatunya sembarangan, Faza berderap menuju dapur. Mengambil gelas dan meneguk segelas air dingin. Keringat sebesar biji jagung yang membasahi kening akibat rasa sakit di lengan langsung Faza seka. Tas yang kemudian dibiarkan meluruh dari pundak. Erangannya perlahan terdengar.

Menyakitkan.

Faza sebenarnya ingin menutupi segalanya sampai akhir, namun rasanya tidak mungkin. Karena hal yang ia lakukan berikutnya adalah mengambil ponsel. Membuka kontak yang paling sering dihubungi, namun jarang berkomunikasi secara langsung.

Faza seharusnya menyerah saja sejak awal. Membelokkan motornya ke arah rumah sakit terdekat. Atau mungkin langsung menuju pemakaman umum-mengubur dirinya sendiri. Nyatanya, tujuan akhir Faza masih rumahnya yang terasa dingin.

Nada panggilan terdengar.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali.

Faza awalnya hampir menyerah. Tidak mungkin ayahnya akan menjawab di tengah kesibukan yang mencekik. Hingga beberapa detik kemudian, suara yang dirindukannya itu terdengar. Membuat isakan Faza hampir keluar dari bibirnya.

"Wat is er aan de hand, Za? Ik ben-"

"Yah ...." Faza memotong ucapan Andra. "Ayah ... pulang ... 'kan, malam ini?"

"Malam ini? Ayah usahain, ya."

"Yah-"

"Faza, Ayah sibuk. Bisa telepon lagi nanti? Kamu butuh uang lagi? Ayah kirimin, ya."

Di Penghujung Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang