Prolog

58 9 0
                                    

Jam istirahat sudah tiba sejak lima menit yang lalu, tapi kantin tidak seramai biasanya. Keramaian justru terbentuk di tengah lapangan upacara. Hampir seluruh warga Nusa Indah berkumpul di sana tanpa adanya komando, membentuk lingkaran besar yang penuh.

Seorang cewek berambut pendek ada di tengah-tengah. Posisinya lebih tinggi karena dia menaiki kursi. Toa yang dipegang tangan kanannya diletakkan di depan mulut. Sebuah kalimat digaungkan berulang-ulang.

"Auriga Dwitama, gue minta maaf."

"Auriga Dwitama, gue minta maaf."

"Auriga Dwitama, gue minta maaf."

Orang-orang yang berkumpul saling berbisik karena bingung. Kegaduhan pun tak terelakan. Sedangkan, cewek yang memegang toa tidak gentar sama sekali. Dia tetap berdiri di atas kursi, meski matahari sudah semakin meninggi.

"Turun, bego!"

Sampai, suara serak itu terdengar membelah kegaduhan. Bising di sekitar lapangan pun hilang. Kini, semua orang menaruh perhatian pada pemilik suara serak itu. Suara serak milik seorang cowok jangkung dengan tatapan mata yang nanar.

"Gue nggak akan turun sebelum lo maafin gue."

Cowok itu berdecih. "Jangan bodoh!" ujarnya, tapi tak dihiraukan. Dia pun merengsek ke kerumunan hingga berdiri tepat di depan si pembuat huru-hara.

Tatapan keduanya bertemu.

Pada titik yang sama.

Pada kesakitan yang sama.

Setetes air jatuh dari pelupuk mata.

"Auriga Dwitama, maaf."

Tidak ada jawaban untuk itu.

Neighbor from HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang