Bagian 7: Riga dan Ona

23 6 0
                                    

"Ke mana aja, sih? Lama banget kayak cewek!"

Riga baru melepas helm saat sambutan tidak mengenakan itu tertangkap oleh telinganya. Sembari melepas jaket, cowok itu menjawab pertanyaan Wilga, "Saran gue, lo cepetan tobat sebelum dikutuk jadi batu. Selagi nyokap, adik, dan pacar lo masih cewek, lo nggak boleh mengolok-olok mereka."

Wilga berdecak. "Ampas!"

"Lho, apa yang gue omongin bener, kan?" Riga tidak mau kalah. Cowok itu menarik sebelah sudut bibirnya. Saat melihat sobatnya mengembuskan napas kasar, Riga tahu, dia sudah menang.

"Bodo, ah! Emang lo dari mana aja, sih? Kita udah ngabisin gorengan dua puluh ribu gara-gara lo lama banget!" ujar Wilga, cowok yang rambutnya sudah jadi incaran guru BK itu menyenggol legan Ed dan Sena untuk mencari pembelaan. Sayangnya, dua orang itu tidak membantunya sama sekali, malah asyik mengunyah bakwan.

Riga turut mencomot gorengan dari piring rotan yang ada di hadapannya. Meski di rumah dia selalu makan makanan sehat yang disiapkan oleh asisten rumah tangganya, Riga tidak pernah skip gorengan saat mampir ke tongkrongan. "Gue bakal jawab pertanyaan lo, Wil, tapi gue nanya dulu. Lo kepo aja apa kepo banget?" Tawanya tersembur saat Wilga memasang ekspresi jengkel.

"Najis lo, sumpah!"

Tidak cuma Riga, kini Ed dan Sena ikut terpingkal melihat ekspresi dongkol Wilga.

"Gue kepo, tapi kepo aja. Emang lo dari mana?" tanya Ed sambil sibuk mengelap tangannya yang berminyak.

Riga menelan gorengannya, lalu meminum es teh yang entah milik siapa. "Gue habis nganterin Ona balik."

"Hah?" Semua orang di meja itu membulatkan mulutnya.

Satu alis Riga meninggi. "Apanya yang hah?"

Sena meletakkan ponsel yang sebelumnya dipakai untuk bermain gim. Perhatiannya fokus pada Riga yang mesam-mesem sok misterius. "Lo udah tahu soal Kolom Profil Idola yang viral di Nusda itu, kan? Kata lo, tulisan itu bikinan si Ona."

"Emang iya. Gue yakin banget tulisan itu dia yang bikin. Dia, kan, nggak suka gue," balas Riga santai, seolah apa yang sedang dibicarakan nggak melibatkan namanya sama sekali.

"Kok, lo baik banget jemput dia di sekolah sampai dianterin ke rumah segala? Dia baru aja menyerang lo pakai kekuasaannya sebagai anak majalah, Bro!"

Riga mengangguk-angguk. Apa yang dikatakan Sena memang benar adanya. "Gue cuma mau ngikutin permainan dia aja. Kayak yang gue bilang tadi pagi, tebakan gue, Ona berniat menggiring opini orang-orang supaya mereka membenci gue. Dia pakai kata privilese sebagai senjata, Bro." Riga meletakkan kembali gelas es tehnya ke meja, menimbulkan bunyi yang bisa mengagetkan orang ngantuk.

Wilga berhenti membalas pesan pacarnya. Lalu, ikut memusatkan perhatian ke arah Riga. "Kok, lo nggak terpancing, Ga? Bukannya lo nggak suka kalau ada yang bahas soal privilese lo sebagai anak donatur?"

Riga mengangguk lagi. Fakta bahwa ayahnya adalah donatur Nusa Indah memang sudah bukan rahasia lagi, tetapi Riga selalu mewanti-wanti teman-temannya agar tidak membicarakan soal itu. Bisa dibilang, Ona adalah orang pertama yang berani menyenggolnya. Tetangganya itu rupanya cukup pandai memilih senjata untuk mulai menyerang Riga.

"Gue nggak bilang gue nggak terpancing, tapi gue harus tetap tenang sampai gue tahu sejauh apa Ona berani berbuat." Air muka Riga berubah keruh.

"Gue lihat-lihat, si Ona ini nggak kayak cewek kebanyakan. Ati-ati aja lo, Ga." Ed memberi peringatan, yang malah ditertawakan.

"Tenang aja, gue sama Ona, kan, tetanggaan. Kalau mau tahu rencana dia, gue tinggal main ke rumahnya, pura-pura mau pinjem solder bokapnya atau sodet nyokapnya," ujar Riga. Keceriaan—kalau tidak mau disebut ketengilan—kembali menghiasi wajahnya.

Neighbor from HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang