Bagian 27: Pengakuan- Pengakuan

12 3 0
                                    

"Jadi benar, dia yang bawa pengaruh buruk ke kamu?"

Ona menegang. Dia baru datang dan kalimat ayah Riga langsung menyerang. Kebingungan, Ona menatap Riga untuk meminta penjelasan. Namun, sebelum Riga menjawab, Ona sudah mendapatkan jawaban dari luka di sudut bibir Riga. Rupanya, Haris melakukan hal yang sama lagi seperti saat memarahi Riga di lapangan sepak bola.

"Om, saya bisa jelasin—"

"Jelasin apa? Kamu mau bawa dia nonton bola atau bikin huru-hara di sekolah lagi? Silakan! Saya sudah nggak peduli! Anak ini jadi pembangkang setelah bertemu dengan kamu lagi!"

Om Haris pergi dengan wajah berang. Ona hendak mengejar, tapi Riga sigap menangkap pergelangan tangannya.

"Om, tunggu!" panggil Ona, tapi tidak dihiraukan.

Gigi Ona bergemeletuk. Tatapannya jatuh pada tangan Riga yang melingkat di pergelangannya.

"Na ...." panggil Riga, suaranya lemah.

"Lo harus jelasin kalau selama ini lo tertekan, Riga!" ujar Ona, menyadari permasalahan Riga akarnya dari sana.

"Percuma! Papa nggak akan dengerin lo."

"Tapi nyokap lo bakal dengerin gue." Ona berdesis di telinga Riga. Membuat cowok itu membulatkan matanya.

"Gue bilang jangan, Liona!" Perintahnya tidak diindahkan Ona.

Cewek berambut sebahu itu berdiri di hadapan wanita paruh baya yang duduk di atas sofa. Ini kali pertama Ona melihat wanita itu lagi setelah sekian tahun. Wajahnya masih sama. Mirip Riga versi cantiknya. "Tante, aku mau bicara," ucap Ona, mantap. Seolah tidak ada lagi ketakutan di sana.

Riga mencegah. "Na—" Namun, gagal karena ibunya mengiakan permintaan Ona.

Gauri—ibu Riga, mengulas senyum kecil penuh wibawa. "Senang bertemu lagi dengan kamu, Liona. Tante bersedia mendengarkan kamu."

"Ma—"

"Silakan."

Lagi-lagi, Riga gagal mencegahnya.

Ona menatap Riga sepersekian detik sebelum mulai berbicara. Melalui kedipan, Ona meyakinkan Riga bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Om Haris benar, emang aku yang bikin Riga bolos les beberapa kali buat nonton bola, main, dan lain-lain. Aku juga udah bikin huru-hara di sekolah yang bikin Riga kena masalah. Atas semua kesalahanku, aku minta maaf," mulainya. "Tapi, Tante juga harus tahu, apa yang aku dan Riga lakukan bukan kesalahan yang amat besar sampai Riga dihukum seperti ini. Aku nggak tahu kapan terakhir dia makan karena belakangan hidupnya cuma dipakai buat belajar."

Ona terus bicara. Sementara, Riga hanya diam di tempatnya, menunduk, menatap ujung kakinya yang tergores pecahan vas bunga.

"Riga nggak bahagia dituntut macam-macam, Tante. Riga mungkin punya pilihan sendiri, dia juga punya mimpi. Mungkin Om Haris punya planning yang bagus buat masa depan Riga, tapi suara Riga juga mau didengar. Dan, satu lagi. Riga masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri atas kejadian kelam di masa lalunya."

Ona menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. "Aku bukan Riga. Aku juga nggak melewati masa-masa gelap di masa lalu seperti Riga. Tapi, aku sangat menyayangkan orang tua yang nggak pernah mau mendengarkan suara anaknya."

"Liona—"

Setetes air turun dari mata. Ona segera menghapusnya sebelum ada yang melihat. "Sori, Ga. Gue mungkin membuka luka lama lo, tapi lo harus berani bicara kalau nggak mau hidup lo begini selamanya."

Riga menunduk semakin dalam. Ketengilan dan keramahannya menghilang entah ke mana karena yang tersisa hanyalah raut keputusasaannya. "Gue lebih milih hidup kayak gini selamanya, Na. Ini mungkin hukuman dari Tuhan buat gue yang udah bikin keluarga gue jadi ... kacau," ujarnya.

Neighbor from HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang