Bagian 1: Anak Tengah

30 5 6
                                    

"Papa, Veronika dapat juara lagi di sekolahnya!"

Ona baru membuka pintu saat suara melengking Charita—mamanya—masuk ke telinga. Setelah berteriak, wanita paruh baya dengan daster bunga-bunga berwarna merah muda itu menghambur ke arah pria yang ia panggil "papa" dengan wajah berseri-seri. Melihat itu, Ona menghela napas pendek. Bibirnya yang setengah terbuka setelah mengucapkan salam kembali mengatup rapat. Ona tidak jadi melanjutkan salamnya dengan menyapa Papa dan Mama karena keduanya sedang melompat-lompat riang setelah ... apa tadi?

"Ona ... Vero dapat juara lagi ...."

Nah, itu!

Ona yang tidak peduli dengan prestasi adiknya yang entah keberapa dalam tahun pertamanya di Sekolah Menengah Pertama itu hanya bergumam pendek. Ona tidak tertarik, sama sekali tidak. Baginya, prestasi saudara adalah mala petaka untuknya.

"Ih, kok, biasa saja responsnya? Ini adik kamu, lho, Na," kata Mama.

Langkah Ona yang hendak menaiki tangga terhenti seketika. Cewek berambut pendek dengan serigam SMA-nya itu menoleh dengan malas. "Emang aku harus gimana?" tanyanya.

Mama menghampiri Ona dengan antusias, merangkul, dan membawa Ona ke sofa ruang keluarga. Di sana, sudah ada Surya—papanya, Veronika—adiknya, dan Isabella—kakaknya yang seharusnya tidak ada di rumah karena kakaknya itu sudah kuliah di luar kota. Bahu Ona merosot. Kalau semua orang sudah dikumpulkan seperti ini, artinya mala petaka untuknya akan segera tiba.

"Duduk dulu," kata Mama sambil mesem-mesem.

Ona memilih duduk di sofa terjauh alih-alih berdempetan dengan saudari-saudarinya di sofa bagian tengah. Mama dan Papa duduk berdampingan di bagian sofa yang lain. Di tengah-tengah mereka terdapat sebuah piala setinggi lima puluh senti meter, selembar piagam, dan sebuah amplop putih yang lumayan tebal. Ona tidak butuh penjelasan lagi, pekikan Mama saat Ona membuka pintu sudah memberi tahu segalanya.

"Bella, Ona, lihat! Adik kalian juara satu olimpiade matematika tingkat kabupaten. Hebat banget, kan?"

Kalimat Mama membuat Veronika—atau yang akrab disapa Vero—senyum-senyum sendiri. Papa dan Bella menanggapi ucapan Mama dengan tepuk tangan. Sementara Ona memutar bola matanya malas.

"Terus kenapa kalau juara, Ma? Mama bakal adain syukuran waktu tante-tante pada arisan?" tanya Ona. Suaranya lebih malas dari apa yang direncanakan. "Atau ... Mama mau beliin Vero Iphone yang baru?"

"Vero mau?"

Mata Ona membulat. Respons Mama di luar dugaan. Dan respons Vero lebih di luar nalar. Anak kelas tujuh SMP itu mengangguk tanpa malu-malu.

"Makasih idenya, Mbak," kata Vero.

Ona berdecih. Lelucon sarkasnya tidak ditanggapi sesuai dengan harapannya. Ona jadi sebal. Dirasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ona beranjak dari sofa. Berlama-lama berada di sana hanya akan membuat perasaannya tidak nyaman. Apalagi, Vero baru saja menjuarai kompetisi.

Sayangnya, langkah Ona lagi-lagi terhenti saat akan menaiki tangga.

"Apa lagi, sih, Ma? Aku mau ke kamar," keluh Ona. Namun, saat berbalik, ternyata Papa yang menepuk pundaknya. Ekspresi kesal Ona berubah datar. "Kenapa?" tanyanya.

Papa tersenyum lebar.

"Makasih ya udah kasih Papa sama Mama ide buat mengapresiasi kerja keras adik kamu selama ini. Omong-omong soal Iphone, Bella sudah punya, Vero mau Papa belikan."

Satu alis Ona meninggi. "Terus?" Terselip harapan kecil di hatinya kalau Papa akan membelikan benda itu juga untuknya.

Senyum lebar Papa tersisa sedikit. Sambil meraih tangan Ona, pria paruh baya itu berujar, "Ona pakai android dulu nggak papa, ya? Sama-sama ponsel pintar, kok."

Ona menyesal pernah berharap.

"Selamat istirahat. Jangan lupa nanti malam belajar yang rajin biar pinter kayak—"

Ona tidak mau mendengar kelanjutan kalimat yang serupa mala petaka itu. Dengan perasaan super-dongkol, dia melenggang ke kamarnya yang berada di lantai dua.

Selalu begini. Dari dulu, selalu harus Ona yang mengalah. Kata teman-temannya di sekolah, ini risikonya jadi anak tengah.

Apa iya emang begitu?

^^^

"Sial, gue lupa password lagi."

Ona menepuk jidatnya. Untuk kali kesekian dalam bulan ini cewek itu lupa password second account sosial medianya. Padahal, akun itu lebih penting baginya daripada first account-nya yang kosong melompong seperti sosial media generasi z pada umumnya. Pasalnya, di second account yang terkunci itu Ona bisa menjadi Ona yang sebenarnya.

Tangan Ona dengan rusuh mengacak-acak lacinya untuk menemukan buku catatan berwarna birunya. Seingatnya, dia pernah menulis password seccond account-nya di sana. Sayang sekali, pencariannya tidak membuahkan hasil. Buku itu tidak ditemukan, baik di tas, di laci, kolong tempat tidur, maupun lemari.

"Di mana, sih, bukunya? Nyusahin banget," keluhnya. Karena selain untuk mencari password yang terlupa, Ona juga membutuhkan buku catatan itu untuk bisa menulis esai.

Ona itu anak klub majalah di sekolahnya. Menulis artikel atau esai sudah menjadi makanannya sejak kelas sepuluh. Ona selalu membuat outline sebelum menulis esainya secara utuh. Buku catatannya yang hilang adalah tempatnya menulis outline-outline itu. Tanpa buku itu, Ona bisa kehilangan arah saat menulis.

"Kenapa pas gue butuh malah ilang, sih?"

Setengah jam melakukan pencarian tanpa hasil, akhirnya Ona menyerah. Dia tidak jadi login ke second account-nya untuk membuat unggahan, juga gagal menulis esai karena buku catatannya tidak ditemukan. Karena tidak tahu harus melakukan apa—Ona tidak akan belajar jika tidak ada ulangan harian, Ona memutuskan untuk merebahkan diri di lantai. Kakinya yang terbalut celana gombrang di tempelkan ke tembok, mirip posisi sikap lilin. Ibu jarinya mulai menggulir layar ponsel.

Swip.

Swip.

Swip.

Tidak ada video yang menarik di TikTok. Ona beralih ke Twitter. Jarinya berhenti menggulir layar saat video orang yang ia kenali muncul di tl-nya. Adalah video milik Vero saat proses penyerahan piala. Dada Ona bergemuruh, teringat apa yang diucapkan Papa siang tadi. Ona bukan ngebet Iphone yang harganya belasan hingga puluhan juta itu. Ona hanya merasa orang tuanya berlaku tidak adil kepadanya.

Tidak perlu jauh-jauh, dari pemberian nama saja, Ona sudah merasa Mama dan Papa tidak menyayanginya. Bayangkan saja, Mama dan Papa memberi nama kakaknya Isabella Princessa, terdengar cantik dan cewek banget. Kepada adiknya Mama dan Papa memberinya nama Agatha Veronika, enak didengar dan dapat diterima. Yang Ona tahu, nama adalah doa. Doa dari orang tua. Lalu, kenapa dia diberi nama Liona Argentina? Nama yang aneh dan nggak cewek banget!

Ona pernah bertanya alasan Papa dan Mama memberinya nama demikian. Kata Mama, "Papamu itu nge-fans banget sama Lionel Messi yang asal Argentina itu. Sebenarnya, kalau lahir laki-laki, mau dinamai Lionel Argentina. Eh, ternyata lahir kamu. Mama sama Papa lupa nggak nyiapin nama buat anak cewek karena ngebet punya anak cowok, jadi ... ya gitu. Nama kamu Liona Argentina. Bagus, kan?"

Saat itu Ona cuma bisa geleng-geleng. Filosofi namanya tidak masuk akal sehatnya, apalagi saat dia mencari arti namanya di internet. Liona adalah bentuk lain dari Lionel yang berarti singa. Liona Argentina berarti singa dari Argentina. Maka, jangan salahkan Ona kalau sedang marah dia bisa berubah jadi singa sesungguhnya.

"ARGH! KENAPA NASIB ANAK TENGAH GINI AMAT, SIH?"

Neighbor from HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang