"Riga?"
Gerakan Riga terhenti, begitu juga dengan musiknya. Cowok itu berbalik badan. Sebelah sudut bibirnya terangkat saat menemukan Ona di ambang pintu bilik persembunyiannya.
"Ngapain lo?"
Ona membuka pintu bilik lebar-lebar, lalu masuk. "Harusnya itu jadi pertanyaan gue." Tangan Ona terlipat, matanya memandang Riga dengan tatapan yang seolah bertanya, "Sejak kapan Riga main piano?"
Riga yang warga Nusa Indah kenal adalah sosok yang dekat dengan gelar juara. Juara kelas, juara olimpiade, juara karya tulis ilmiah. Riga juga dikenal akrab dengan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Namun, Riga tidak pernah terlihat menonjol di bidang seni. Ona sempat heran saat menemukan cowok itu tengah memainkan alat musik, apalagi piano yang cara memainkannya tidak mudah.
"Ngapain lo di sini?" tanya Ona.
Senyum miring Riga luntur seketika. "Main piano. Lo nggak bisa lihat?"
Ona cuma manggut-manggut. "Lo dicariin Om Haris."
"Oh."
Cuma itu.
"Balik sana!"
Riga tidak langsung menggubris. Cowok meninggalkan pianonya sebelum membalas ucapan Ona. "Nanti juga gue balik," katanya. Cowok itu berdiri di hadapan Ona. Ekspresinya masih setenang permukaan air.
"Lo ngapain ke sini?" Ganti Riga yang bertanya.
"Cari lo. Disuruh Om Haris."
"Oh."
Ona mengerutkan dahinya. Ada yang aneh dengan sikap Riga kali ini. "Lo kenapa, sih? Ah-oh-ah-oh doang dari tadi?" Ona jadi gemas sendiri. Lebih dari itu, Ona takut Riga kesurupan Mbak Kunti.
Hih!
Kekehan kecil lolos dari bibir tipis Riga. "Tumben nanya. Biasanya lo antipati sama gue."
"Disuruh Om Haris."
"Oh."
Oh lagi, oh lagi. Ona muak mendengarnya. Cewek itu berdecak berkali-kali sambil berbalik badan. "Males banget gue ngomong sama lo! Buruan balik, Om Haris mau ngomong sesuatu sama lo. Gue cabut dulu."
Ona pergi. Riga memperhatikan punggungnya yang bergerak menjauh. Ada gelenyar aneh di dadanya sejak Ona datang. Sejak cewek itu memergokinya sedang bermain piano. Bagi orang lain, ketahuan bermain musik sendirian mungkin bukan hal yang aneh, tapi bagi Riga yang sudah sejak lama ingin melupakan hobi bermusiknya, hal ini cukup mengejutkan. Ada sebagian dari diri Riga yang seperti tersengat saat Ona menemukannya di bilik persembunyian.
Riga takut. Takut jika ada seseorang yang mengetahui kesenangannya di bidang musik, lalu mengapresiasinya, hobi itu akan membuatnya terlena. Padahal, Riga tidak punya waktu untuk itu. Satu detik terlalu berharga untuk dilewati tanpa belajar ilmu sosial. Setidaknya, setelah Riga kembali ke rumah lama dan hanya tinggal berdua bersama ayahnya.
Masih untung yang memergokinya adalah Ona, cewek yang tidak suka, bahkan cenderung membencinya.
Buruan balik, Om Haris mau ngomong sesuatu sama lo.
Kalimat Ona terngiang di telinga. Sebuah nama tersebut di sana. Nama yang sedang tidak ingin Riga dengar. Nama yang menjadi salah satu penyebab Riga ingin membuang jauh-jauh hobi bermusiknya.
Duar!
Petir menyambar, disusul air langit yang turun setelahnya. Hujan deras mengguyur kota sebelum Riga beranjak dari tempatnya.
"Aish! Gue parkir motor di pinggir lagi. Helm gue ...."
Riga berjalan cepat hendak keluar dari ruang musik, tapi langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Ona di ambang pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Neighbor from Hell
Ficção AdolescenteGara-gara menulis esai jelek tentang Riga untuk mengisi Kolom Profil Idola di majalah tahunan Kreativa, Ona jadi dimusuhi anak-anak satu sekolah. Soalnya, Riga itu murid pintar dan populer yang banyak penggemarnya. Sementara, Ona cuma anak klub maja...