Bagian 20: Sepuluh Detik

14 3 3
                                    

Pertandingan usai, entah siapa yang menang. Orang-orang yang tadi memenuhi tribune mulai membubarkan diri, terlihat dari makin berkurangnya jumlah motor di parkiran. Ona dan Riga masih tertahan di pos satpam. Tidak ada yang dibicarakan, hanya suara napas yang terdengar setelah sahutan isakan.

Riga tidak lagi bersandar di bahu Ona. Ona juga tidak lagi memeluk Riga. Keduanya hanya duduk berdampingan, menghirup udara yang telah bercampur dengan debu dan cerita kelam.

"Ga."

"Na."

Keduanya berucap bersamaan. Menciptakan kecanggungan.

"Lo dulu," ucap Ona.

Riga mengangguk, lantas mengambil posisi serong. Matanya lurus menatap Ona. "Makasih ... pinjaman bahunya. Lo boleh, kok, ketawa."

Ona mengernyitkan dahinya. "Buat apa?"

Bahu Riga mengedik. Tatapannya teralih ke luar ruangan. "Ya, itu juga kalau lo mau."

"Gue nggak sejahat itu."

Riga mengangguk. Dia melihat ketulusan di mata Ona, juga pada pelukan dan pinjaman bahunya.

Tatapan Riga menerawang ke atas. Ke langit-langit pos satpam yang berwarna putih polos dan membosankan. Sejurus kemudian, Riga kembali menatap Ona yang juga sedang menatapnya.

"Lo tahu, nggak, hal yang paling menyedihkan dari semua cerita gue tadi?" Atmosfer ruang berubah makin keruh. Kepedihan tergambar di raut Riga. "Gue ... lupa rasanya dipeluk. Pelukan lo tadi, itu yang pertama setelah sekian tahun."

Kalimat Riga syarat rasa sakit. Ona bisa menangkapnya. Ona memang tidak merasakan sendiri apa yang Riga rasakan, tapi Ona mengerti seperti apa perihnya luka Riga.

Mata Ona memanas, tapi Ona tahu Riga tidak membutuhkan air mataya. Jadi, cewek itu sedikit menengadah, lalu menarik napas beberapa kali sebelum berkata, "Ga, lo ... mau jalan-jalan sebentar?"

Sebelah alis Riga naik. "Ke mana?"

"Nggak tahu. Jalan-jalan aja dulu. Ke pasar, kek, ke mana, kek."

Riga terkekeh. "Ke neraka, mau?" tanyanya, mengundang decak sebal Ona.

"Yang bener aja, deh!"

Gelak tawa memenuhi ruangan. Riga menepuk-nepuk puncak kepala Ona dengan tepukan ringan. "Bercanda. Tempat itu nggak cocok buat orang baik kayak lo."

"Kalau-kalau lo lupa, gue ini oknum yang berusaha menggiring opini biar orang-orang benci sama lo," ucap Ona.

Riga terkekeh lagi. "Tapi lo nggak pergi setelah tahu seperti apa gue sebenarnya."

Mata keduanya bertemu. Detik seolah membeku. Saat deru motor di luar mengembalikan kerja waktu, Ona bangkit buru-buru.

"Udah ah. Jadi pergi, nggak?" tanyanya.

Riga turut bangkit. "Yuk! Udah jarang juga kita main bareng." Kedua tangannya hinggap di bahu Ona, mendorong sahabat kecilnya itu keluar dari pos satpam yang ditinggal entah ke mana oleh pemiliknya.

^^^

Jam di layar ponsel menunjukkan pukul empat sore ketika motor yang dikendarai Riga tiba di sebuah taman. Taman itu banyak ditumbuhi tanaman, seperti bunga nusa indah, tabebuya, dan bougenvil yang membuat taman terlihat cantik karena warna-warna yang dihasilkan. Tempat duduk berbahan dasar kayu tersebar di beberapa bagian. Riga mengajak Ona duduk di kursi yang ada di bagian timur, arahnya menghadap ke barat.

Ini adalah lokasi ke sekian yang Ona dan Riga datangi setelah tiga jam mengelilingi kota.

"Dulu kita sering main di sini," kata Riga.

"Lo sering nangis kalau kalah balap sepeda sama gue di sini," sambung Ona.

Riga mengangkat sebelah sudut bibirnya yang terluka, membuatnya mengerang kecil. "Lo dari kecil emang udah nyebelin, sering banget nyalip sepeda gue."

"Namanya juga balapan!"

Giliran Ona yang tertawa. Tidak ada lagi kecanggungan di antara keduanya. Tidak ada lagi yang mengingat pertengkaran di antara mereka. Semua menguap setelah kebersamaan keduanya hari ini. Satu hal yang berada di luar rencana.

Ona menatap Riga dari samping. Cowok itu tidak berhenti menarik senyum, padahal sebelumnya dia menangis. Ternyata, ada banyak hal tentang Riga yang masih menjadi misteri bagi Ona.

"Gue baru tahu lo suka main piano."

"Gue juga baru tahu lo suka nulis."

"Gue suka nulis dari SMP."

"Gue suka main piano dari SD. Sayangnya, SD kita nggak bareng, sih. Kalau bareng, kan, gue bisa pamerin skill dewa gue ke elo."

Ona mencibir. "Sombong!"

"Karena gue punya bakat buat disombongin." Tawa meluncur dari mulut Riga. Tawa menyebalkan yang anehnya kali ini terdengar merdu di telinga Ona.

Ona biasanya sebal setengah mati, tapi kini, dia malah terkekeh geli.

"Ya ya ya ... terserah lo aja, deh!" katanya.

Tawa Riga berangsur reda. "Tapi buat apa ya disombongin juga? Toh, gue nggak akan sering main piano lagi," ungkapnya.

"Kenapa?" Dahi Ona berkerut.

"Papa nggak suka."

Hati-hati Ona bertanya, "Tapi ... lo suka?"

"Suka, tapi buat apa kalau Papa nggak suka?" Riga bertanya balik. Tawanya tadi berganti dengan senyum pedih.

Ona jadi merasa bersalah sudah bertanya. Cewek itu segera putar otak untuk mengenyahkan atmosfer suram di antara mereka. "Kalau gitu ... main buat gue. Gue suka musik lo," katanya, jujur. Sejak awal mendengar permainan piano Riga, Ona sudah menyukainya.

"Emang lo siapanya gue?" tanya Riga, ekspresinya tengil luar biasa.

"Nyebelin lo!" Sebuah tabokan pelan hinggap di lengan Riga.

"Yah, marah. Ya udah, deh. Kapan-kapan gue main musik buat lo, tapi nggak tahu kapannya itu kapan." Raut tengil Riga kembali. Artinya, dia sudah baik-baik saja.

Semoga.

Matahari mulai turun. Langit mulai dihiasi rona jingga, meski tertutup sedikit polusi udara. Ona mengecek jam di layar ponselnya. Pukul setengah lima.

"Udah sore. Mau balik?" Cewek itu bangkit dari kursi.

"Bentar. Kayaknya jam segini bokap masih di rumah."

"Eh? Lo ... nggak papa? Apa mau balik ke rumah gue aja?" tawarnya, melupakan julukan "Tetangga dari Neraka" yang dia sematkan untuk Riga.

Riga berdecak kecil, lalu tertawa geli. "Ngapain? Gue nggak papa, kok, tapi ...." Cowok itu menggantung kalimatnya.

"Tapi?"

Riga mengunci Ona dengan tatapan. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Ada sedikit keraguan di matanya.

"Ga?"

"Gue boleh, nggak, peluk lo sekali lagi? Gue ...." Riga kesulitan menyusun kata-kata. Antara lidahnya yang terlalu kelu atau egonya yang takut terluka kalau Ona tidak mengizinkannya memeluk cewek itu.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik.

Ona masih diam. Riga jadi salah tingkah, merasa salah bicara. Namun, saat akan meralat ucapannya, Ona tersenyum.

"Boleh. Sepuluh detik."

Senyum Riga sontak mengembang. Cowok itu menarik Ona ke dalam dekapan, merangkum tubuh teman kecilnya itu dengan kedua lengannya. Tubuh Ona yang kecil terasa pas di sana.

Riga merindukan cewek itu. Karena meski setiap hari bertemu, hubungan mereka tidak bisa dikatakan baik. Namun, hari ini Ona kembali menjadi teman kecilnya. Orang terakhir yang Riga harapkan tidak akan ikut memunggunginya. Karena jika iya, Riga tidak tahu harus bertahan dengan cara apa.

"Gue seneng bisa main sama lo kayak dulu lagi. Baik-baik terus ya, Na."

Pada hitungan kesepuluh, Riga melepaskan rangkuman lengannya. Setitik air mata turun ke pipinya.

Neighbor from HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang