Selain tidak suka jadi anak tengah, Ona juga tidak suka bertetangga dengan cowok jangkung berpenampilan rapi yang tempat tinggalnya hanya berselang lima langkah dari rumahnya. Namanya Auriga Dwitama, cowok yang sedang sok akrab dengan mamanya. Ini bahkan masih pagi, tapi Ona sudah dibuat berkali-kali mendengkus saat melihat tingkah menyebalkan Riga. Ah, sebenarnya ini salah Mama yang memanggil dan mengajak Riga mengobrol lebih dulu, padahal harusnya Mama fokus menyapu halaman.
"Tante bikin nasi goreng mentega lho, Ga. Yuk, sarapan dulu aja. Bareng sama Ona."
Ona nyaris tersedak sebutir nasi saat telinganya menangkap obrolan itu. Kenapa Ona bisa mendengarnya padahal dia sedang sarapan? Karena Ona punya kebiasaan sarapan di teras. Cewek itu mengambil gelas tingginya, lantas minum dengan rakus. Matanya kembali melirik Mama dan Riga yang masih melanjutkan obrolan mereka.
"Makasih, Tan. Saya udah sarapan tadi di rumah."
Bagus! Ona membatin. Pasalnya, dia tidak sudi sarapan bareng Riga. Bisa-bisa nasi goreng mentega buatan Mama jadi nggak ada rasa dan Ona nggak lagi berselera.
"Aduh, buat anak keren kayak kamu mana ada repot? Tante malah seneng."
Huek!
"Hehe, mungkin next time ya, Tan."
Nasi goreng di piring Ona sudah habis, begitu juga dengan air bening yang ada di gelas tingginya. Ona hendak masuk ke rumah untuk mencuci piring ketika Mama memanggilnya.
"Kenapa, Ma?" tanyanya. Terdengar lebih malas dari apa yang direncanakan.
Mama yang pagi ini mengenakan daster ungu polos melambaikan tangannya. "Tolong dong, Na. Bungkusin nasi gorengnya satu porsi ke wadah bekal kamu."
"Aku nggak mau bawa bekal."
Dahi Mama berkerut. "Emang buat kamu?"
Giliran Ona yang bingung. "Terus?"
"Ya buat Riga, lah. Cepet, sana!"
Tanpa tedeng aling-aling Ona berdecak keberatan, tapi tampaknya Mama tidak peduli. Sebelum masuk ke rumah, cewek berserigam SMA itu menghunuskan tatapan tajam ke arah Riga. Sialnya, cowok dengan serigam yang sama sepertinya itu membalasnya dengan seringai menyebalkan.
Ternyata, selain harus berbagi kasih sayang orang tua dengan dua saudarinya, Ona juga harus bersaing dengan Riga. Tetangga lima langkahnya yang tampan, rajin, pandai, juara kelas, anak olimpiade, ramah, baik hati—sempurna. Ona tidak pernah mengakuinya, semua anggapan itu bersumber dari mulut manis Mama dan Papa yang rajin bercengkerama dengan Riga setiap pagi.
"Kenapa mukanya ditekuk begitu, Na?" tanya Papa. Pria berkaus putih itu sedang duduk sambil menikmati kopinya di depan televisi.
Ona menjawab singkat, "Males disuruh Mama."
"Disuruh apa memangnya? Kok, tumben Mama nyuruh-nyuruh kamu pagi-pagi begini?"
Bibir Ona manyun. Dibanding Mama, Papa lebih perhatian. Kadang, Ona lebih nyaman mengobrol dengan beliau.
"Aku disuruh bungkus nasi goreng di wadah bekal," katanya, berharap sikap ogah-ogahannya akan dimaklumi Papa.
"Tumben?" Satu alis Papa terangkat. "Kamu mau bawa bekal ke sekolah?" tanyanya.
"Bukan buatku, tapi buat Riga."
Seketika, raut bingung Papa berubah jadi raut antusias. Matanya sampai berbinar-binar. "Riga tetangga kita yang tampan itu? Ya udah sana, jangan sampai Riga nunggu. Semangat, Na!"
Ternyata Papa tidak ada bedanya dengan Mama.
Ona mendengus sebal. Sekarang, tahu, kan, kenapa bertetangga dengan Riga adalah sesuatu yang pengin gue tukar tambah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Neighbor from Hell
Novela JuvenilGara-gara menulis esai jelek tentang Riga untuk mengisi Kolom Profil Idola di majalah tahunan Kreativa, Ona jadi dimusuhi anak-anak satu sekolah. Soalnya, Riga itu murid pintar dan populer yang banyak penggemarnya. Sementara, Ona cuma anak klub maja...