Bagian 21: Menghilang dari Radar

24 2 0
                                        

Sekre Kreativa kembali!

Entah ada angin dari mana, tiba-tiba pembina memanggil semua pengurus harian Kreativa untuk berkumpul di ruangannya. Pembina berkata, klub debat telah kembali menggunakan auditorium sebagai tempat latihan mereka. Artinya, sekre Kreativa kembali ke pemilik semula.

Selin, Fio, Arka, Fatma, Gema, dan Ona bersorak gembira. Mereka membawa kembali barang-barang mereka ke ruangan itu. Ruangan yang telah mereka anggap sebagai rumah kedua.

"Gue seneng banget ... super-duper-mega-seneng! Nggak bisa diungkapkan semua senengnya ...." Selin memeluk hampir semua orang yang ada di sana. Kebahagiaan terpancar dari binar mata dan senyumannya.

"Akhirnya sekre kembali ke kita lagi!" Tidak jauh beda dengan Selin, Arka juga menunjukkan ekspresi yang sama. Berulang kali kepalan tangannya meninju udara.

"Kita harus banyak bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa!" ucap Fatma.

"Alhamdulillah ...." Gema dan Fio menengadahkan tangan sambil senyum semringah.

Selin merangkul Ona yang paling anteng di antara semua pengurus harian yang berkumpul di sekre. "Na, lo nggak mau sujud syukur? Rumah kedua lo ini akhirnya balik lagi! Lo nggak super-duper-mega-seneng-banget kayak gue?" tanyanya.

Ona membalas rangkulan Selin. "Gue seneng, kok, seneng banget malah. Cuma ...."

"Maaf ya, Na ... belakangan kita cuekin lo, kita juga mojokin lo buat tanggung jawab perkara majalah tahunan itu. Seharusnya kita ikut bantuin lo, bukan malah musuhin lo. Gue atas nama teman-teman Kreativa minta maaf ya?" potong Selin. Ekspresinya sungguh-sungguh.

Ona mengulas senyum tipis. "Emang gue yang salah, kok. Nggak seharusnya gue nulis sesuatu yang memancing huru-hara."

Kedua cewek itu saling berpelukan singkat. Lalu, Selin kembali ke euforianya. Ona duduk di singgasananya, kursi depan komputer. Mengelus permukaan komputer yang ia rindukan. Tak lama, Gema menyusul setelah membantu Arka menata tumpukan buku di sudut ruangan.

"Na? Barusan itu ... lo serius? Bukannya ...." Kalimat Gema menggantung, tapi Ona paham maksudnya.

"Gue udah capek, Ma. Lagian ini emang salah gue," katanya.

Gema tampak akan protes, tapi Ona kembali melanjutkan kalimatnya.

"Udah mau bel masuk. Yuk, ke kelas."

^^^

Ona tiba di kelas sebelum bel masuk berbunyi. Belum banyak orang yang masuk, tapi Riga sudah ada di kursinya. Cowok itu sedang membaca buku cetak tebal yang sampulnya belum pernah Ona lihat sebelumnya. Di sebelah buku itu terdapat dua bungkus biskuit kecil. Sepertinya, Riga tidak pergi ke kantin.

Ona tidak tahu pasti, ini hanya perasaannya saja atau memang begitu adanya, sejak menonton pertandingan sepak bola antar sekolah hari Minggu kemarin Riga berubah jadi sosok pendiam. Belakangan Riga tidak menyapa penggemarnya yang berbaris di koridor untuk menyambut kedatangannya, Riga juga berhenti menerima hadiah-hadiah kecil dari penggemarnya. Riga lebih sering berdiam diri di kelas untuk membaca buku, menyelesaikan latihan soal, menghafal materi yang bukan materi anak SMA, dan kegiatan lain yang serupa. Ona jadi ingat cerita Riga soal tekanan yang diberikan orang tuanya.

Hidup Riga jauh lebih berat dari gue, tapi dia selalu terlihat baik-baik aja. Sedangkan gue ....

"Ngelamun jorok lo ya?"

Ona berdecak. Dia menatap sebal Adam yang mengganggu lamunannya.

"Apaan, sih, lo? Sok akrab!"

Adam duduk di kursinya, tepat di belakang Ona. "Omong-omong, belakangan lo jarang berantem sama Riga. Udah berdamai? Apa masih gencatan senjata?"

Neighbor from HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang