"Mama kenapa?" Kerutan terbentuk di dahi Ona saat mendapati mamanya mesam-mesem sendiri.
Wanita berdaster ungu itu terkekeh kecil. "Kamu udah baikan sama Riga?" tanyanya, yang makin membuat Ona kebingungan.
"Emang siapa yang berantem?"
"Kalian berdua. Nggak tahu, sih, Mama cuma nebak. Soalnya setiap Mama sama Papa nyebut nama Riga, kamu langsung berubah jutek. Ya ... meski kata Bella, kamu memang jutek dari lahir."
Ona mendengkus. Mamanya sama sekali tidak sadar bahwa setiap kali membicarakan Riga, mereka juga akan membandingkan cowok itu dengan Ona. Dan, Ona tidak pernah suka dibanding-bandingkan meski dibalut dengan candaan.
Tidak mau memperpanjang pembicaraan, Ona setuju saja dengan kalimat terakhir Mama. Jadi, cewek itu menggangguk kecil. "Kak Bella bener. Aku masuk dulu, mau mandi."
"Ya udah, sana! Habis itu makan. Tadi Mama masak ayam teriyaki sama capcay kesukaan Vero."
"Kenapa bukan masak makanan kesukaanku?" tanya Ona.
Ganti dahi Mama yang mengernyit. "Emang kamu sukanya makan apa?"
Bahkan untuk hal sesepele makanan, Mama tidak tahu. Ona menghela napasnya cukup panjang. "Pecel rumput laut," ucapnya asal.
Ona berlalu meninggalkan Mama di halaman dengan sedikit perasaan kecewa. Namun, hal itu tidak bertahan lama. Sesuatu yang lain lebih mendominasi isi hati dan kepalanya saat ini, yakni sikap Riga kepadanya saat hujan turun tadi.
Ternyata dia bisa bersikap manusiawi juga.
"Argh! Lo nggak boleh terlena, Ona. Riga yang sekarang bukan Riga yang sebelas tahun lalu selalu bersikap baik ke elo."
^^^
"Sudah selesai sekolahnya? Sejam yang lalu saya ke sekolah kamu, ke tempat les juga, tapi kamu nggak ada. Ini hari ke berapa kamu bolos?"
Suara dalam Haris menyambut Riga. Tatapan Haris yang dingin membuat Riga membeku di tempatnya.
"Maaf, Pa," cicitnya. Pandangannya jatuh ke lantai, lalu berpindah ke ujung sepatunya, dan ke mana saja asal bukan mata ayahnya, yang dalam, dingin, dan asing, padahal keduanya selalu berada di rumah yang sama.
"Ponsel kamu juga nggak aktif. Sengaja biar nggak diteror guru les?"
Riga menelan ludahnya lusah payah. "Tadi Riga cuma ... nggak enak badan." Hanya itu yang bisa ia katakan. Di luar, Riga mungkin jagoan yang dipuja bak dewa, tapi di dalam rumah berlantai dua itu dan di hadapan ayahnya, tentu saja, Riga tidak lebih dari seorang pengecut.
Di rumahnya, Riga tidak punya suara.
Sama sekali tidak.
"Itu bukan alasan buat kamu bolos les dan mengingkari janji bertemu dengan teman saya yang sudah saya atur susah payah, Auriga Dwitama."
Riga menunduk semakin dalam. Haris sudah menyebutkan nama lengkapnya. Itu berarti kesalahn Riga sudah tidak bisa dimaafkan.
"Maaf, Pa."
"Saya kecewa sama kamu."
Riga juga kecewa sama Papa. Sayangnya, kalimat itu hanya menyuara di dalam hatinya.
"Riga ke atas dulu. Bersih-bersih badan. Tadi kehujanan sedikit di—"
Tanpa menunggu kalimat Riga selesai, Haris pergi meninggalkan ruangan.
Selalu seperti ini.
Langkah gontai membawa Riga ke lantai dua, tempat kamarnya berada, tempat terjauh dari ruangan-ruangan yang sering digunakan ayahnya. Riga membuka pintu kamarnya yang berbahan dasar kayu, kemudian masuk dan kembali menutup pintu itu rapat-rapat. Riga bahkan menguncinya, dia juga menutup seluruh jendela. Tanpa menyalakan lampu, kamarnya gelap gulita. Tak masalah, itu lebih baik daripada Riga harus melihat foto-foto keluarga yang masih ia simpan di meja belajar saat suasana hatinya tak keruan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Neighbor from Hell
Ficção AdolescenteGara-gara menulis esai jelek tentang Riga untuk mengisi Kolom Profil Idola di majalah tahunan Kreativa, Ona jadi dimusuhi anak-anak satu sekolah. Soalnya, Riga itu murid pintar dan populer yang banyak penggemarnya. Sementara, Ona cuma anak klub maja...