Prolog

118 49 3
                                    

                                     ~•°°•~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

                                     ~•°°•~

Jiwa busukmu telah kembali...

Membawa raga yang telah lama pergi...

"Tidak! jangan mengotori jiwa sucinya!!"

Dalam degup jantung yang terus berpacu kencang. Aliran keringat tanpa henti, mengutuk para bedebah sialan yang tak kunjung mati.

"Takdirnya hanya sampai detik ini, biarlah jiwanya pergi, serahkan pada bangsa peri. Faeries."

"KAU GILA!"

Percikan api menyulut setiap sihir yang terus bergelut dilangit, memercikkan kekuatan tersembunyi yang telah lama hilang. Rasa sakit tak henti-henti menyambar jiwa dan raga sang pemilik kesucian. Merasakan tetesan darah memutih, hawa tubuh tercekat tanpa ampun.

"Sesak."

Menyesakkan.

Tanah Emerald menjadi saksi atas kekejian yang terus menodai bumi utara. Langit kelam penuh bintang runtuh, menyisakan lubang hitam saling menyampaikan sihir--sebagai bentuk ungkapan tak tersampaikan.

Tepat dibawah kegelapan.

Langkahnya terseok-seok, menghampiri tubuh ringkih yang semakin memucat terbalut angin.

"Jangan... Kumohon, jangan..."

Air matanya luruh begitu saja, mengundang isakan yang terus meraung tanpa henti. Tangan pucat itu memegang perut yang terlihat separuh hancur.

"Tidak bisa..." Sihir kegelapan seolah mencekik lehernya. Tak lagi dapat memberikan cahaya hijau- lalu disusul tertutupnya luka itu. Tak lagi bisa.

Diantara banyaknya kehancuran-rasa sakit. Akar menjuntai hingga menyentuh udara, untaian-nya seolah ikut membelit jantung. Membuatnya tercekat, sesak, lalu berhenti berdetak. Dedaunan mengeluarkan saripatinya. Bak gurun pasir tanpa hujan. Hanya sengatan panas yang menyakitkan, lalu disusul sambaran badai. Tinggal menunggu saja. Kapan daun itu akan lelah, jatuh, lalu, mati.

Mati, seperti Emerald saat ini.

Disela rasa sakit yang tak kunjung reda. Halus, lembut angin menerpa tubuh ringkihnya. Membawa sang suci terbang melayang menyertai dirinya diantara sambaran sihir. Dinding pertahanan mulai runtuh, tak kuat untuk menerima serangan dari berbagai belah pihak.

Retak.

Sampai akhirnya.

Pecah. Bak butiran debu terbawa angin beliung. Tak lagi bersisa.

Raungan menuntut rasa ketidak-terimaan melolong. Tangisan penuh dendam terasa sangat menyakitkan. Tatapan kosong, melayang, seolah ikut terbawa beliung.

Mereka, para pelindung jiwa suci, hancur. Berharap setidaknya masih tersisa setitik cahaya di ujung cakrawala.

Angin, kembalikan kesucian itu. Kami telah menjaganya dengan penuh kehati-hatian. Lalu kau menghancurkannya dalam sekelibat mata. Itu tidak adil! biarkan kami mengorbankan jiwa penuh noda ini.


Senyap.

Bumi kembali berotasi sesuai porosnya.

Perang sihir telah berhenti, langit kembali menyorotkan sinarnya. Pepohonan menghijau seketika, saripatinya kembali membalut jari-jari dedaunan. Keindahan yang menyesakkan.

"La Luna telah pergi, membawa jiwamu yang suci."

_____

"Sampai jumpa, dikehidupan selanjutnya."

Senerety - In The Scenery Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang