Lari

56 14 2
                                    

First tak mempercayai pendengarannya. Khao ingin menciumnya? menggigitnya? atau apa? otaknya tiba-tiba berhenti. First memang suka Book, selama hidupnya ia selalu menjadi yang mengejar. ia selalu membayangkan Book berkencan dengannya, tidak pernah sekalipun terpikirkan oleh First akan ada manusia lain yang tertarik untuk menciumnya. huh?? ciuman itu harus karena cinta kan?? 

Otak First sibuk memikirkan segala hal hingga tak mendengar hitungan Khao yang sudah sampai angka delapan. Khao mendekat dan berjongkok di depan First yang pandangannya tak fokus. tangannya meraih dagu First dan menyapu bibirnya dengan ibu jari. First langsung tersadar dan menggenggam pergelangan tangan Khao agar tidak lebih jauh menyentuhnya. Khao melihat bibir First dan tersenyum.

"kalau kau tak juga memilih, biar aku saja yang pilihkan tiket pulangmu" ucap Khao dengan suara yang entah mengapa menjadi berat dan serak. pandangannya bergantian menatap mata First kemudian bibirnya.

"aku... tak perlu tiket apapun darimu. aku akan pulang dan jangan akh-!" ucapan tajam First terhenti karena tangan Khao yang sebelumnya menyentuh dagu First, kini mencekiknya kuat. First meronta, memukul-mukul Khao yang berada pada jangkauannya. semakin First meronta, semakin kuat cekikan Khao yang membuat First tak peduli lagi. memohon ampun dari Khao tanpa suara yang keluar.

"tanpa tiket pulang. kau akan mati disini First. mayatmu mungkin akan kusimpan untuk mainan beberapa hari" ujar Khao enteng. kontras dengan wajah First yang mulai membiru dan pukulannya yang melemah. First mengerti. ia akan lakukan apa saja. ia berjanji. kata-kata tanpa suara yang First ucapkan cukup membuat Khao melepaskan cengkramannya. First terbatuk dan menghirup oksigen dengan rakus. dadanya naik turun, air mata mengumpul di ujung matanya.

"aku.. akan.. minum" jawab First menemukan suaranya kembali yang terengah-engah.

Khao tersenyum mendengarnya dan menyodorkan botol minuman keras yang ada didekat First.  Tangan First terangkat gemetar hendak meraih botol itu, namun Khao menyodorkan kepala botol itu di depan bibir First. seolah berkomunikasi melalui tatapan, First menempelkan bibirnya pada kelapa Botol yang disambut Khao menaikkan bagian bawah botol itu, membiarkan airnya mengalir ke arah bibir First yang sudah terbuka sedikit.  satu tegukan penuh dan First menepis tangan Khao pelan. First terbatuk dan kesulitan menelan minuman aneh yang baru pertama kali ia rasakan. tenggorokannya terasa terbakar. bagaimana bisa Khao menikmati minuman ini dengan santainya barusan.

sesaat setelah First berhenti batuk, Khao menyodorkan kembali botol itu seolah menyuruh First untuk menghabiskannya. First tidak mau dipukuli lagi, atau kehilangan udara yang menyesakkan jantungnya. dengan perlahan, First ikut memegangi botol itu. tangannya bersentuhan dengan tangan Khao yang belum mau melepaskan botol itu.

First memejamkan matanya kuat, menahan segala kebakaran dan perih pada tenggorokannya. setelah habis. Khao melepaskan botol itu yang segera jatuh ke tanah dan menggelinding diantara kaki First. melihat Khao yang sudah kembali berdiri dan berjalan pergi. First dengan susah payah bangkit dari duduknya dan berjalan sempoyongan. badannya sakit. hidungnya sudah mati rasa. kepalanya sakit dan sekarang pandangannya mulai kabur. sekilas ia melihat Khao yang berhenti di ujung gang dan bersandar melihat jalanan di depannya. 

First ingin meminta bantuan. ia sudah tak kuat lagi menahan tubuhnya dengan kaki yang seperti jelly. sebelum kesadarannya hilang, sekilas ia melihat Khao berjalan ke arahnya lagi dan untuk ke dua kalinya hari ini, First pingsan.

.....................................................

First terbangun dengan suara dering ponselnya yang tak kunjung berhenti. dengan mata yang masih terpejam, ia raba sekitar sumber suara. tiba-tiba seseorang mendekatkan ponsel itu ke dekat telinganya yang segera terdengar suara Ibu yang khawatir.

Go Down in FlamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang