Sahabat

63 14 10
                                    

First terus melangkah pelan sambil sesekali menengok ke belakang, memastikan Khao tidak ada di sekitarnya. First baru tau kalau pendengarannya bisa setajam ini. Akhirnya pintu besi berwarna coklat yang senada dengan tembok disekitarnya berhasil dia raih. First mengatur kekuatannya dalam mendorong pintu yang agak berat itu agar tidak berdecit atau mengeluarkan suara apapun. saat tubuhnya sudah berada di ambang pintu, angin dingin berhembus menyibak sedikit rambutnya. sambil tersenyum, First segera menutup pintu itu rapat-rapat dan bersandar menahan pintu itu dari siapapun yang hendak membukanya.

dengan satu hembusan nafas lega, First mengecek jam tangannya, sudah hampir 30 menit. dia hanya perlu duduk dan berdoa selama sisa waktu 5 menit, berharap Khao tidak menemukannya. bagaimanapun, untuk pertama kalinya First merasa lebih unggul dalam permainan Khao.

ditengah keheningan sore menjelang malam itu, terdengar kekehan yang cukup familiar. awalnya tidak dia gubris sama sekali dan tetap memandang ke langit yang luas tak berbatas. sesuatu yang sangat First sukai. langit tanpa hujan.

namun kekehan itu semakin lama semakin mendekat membuat First tersadar kalau itu bukan halusinasinya. dengan cepat ia menengok ke arah sumber suara dan menemukan Khao yang berada cukup jauh di ujung atap sekolah, sedikit terhalang oleh beberapa kursi dan properti yang sudah tidak layak pakai.

"Khao..." kepanikan mulai merambat di wajah First

"oh tuhan. aku sudah ingin melepasmu, tapi kau yang datang sendiri." ucapnya mendekat dan mengepulkan asap nikotin terakhir sebelum menginjak puntung rokok itu.

"jika dipikir-pikir, sejak awal memang kau yang mendatangi ku kan?" lanjutnya sambil melangkah lebar-lebar menghampiri First yang baru sadar dan berbalik mencoba membuka pintu di belakangnya

First menarik pintu besi itu dengan kuat namun tiba-tiba Khao sudah berada di punggungnya mendorong pintu itu cepat. First menahan nafasnya merasakan deru nafas Khao menerpa tengkuknya

"I found you" bisiknya membuat seluruh bulu kuduk First meremang

First memjamkan mata, mencoba menetralkan detak jantungnya yang mau meledak.

"Khao... aku.." suaranya malah seperti berbisik. terdengar menjijikan untuk telinganya sendiri

"berbaliklah," titah Khao yang mulai memberi jarak diantara mereka, First berbalik menghadap Khao dengan punggung yang masih menempel ke pintu seolah itu bisa melindunginya. ia tak berani menatap Khao yang mengeluarkan aura menakutkan

tangan Khao menyentuh dagu First yang masih setia menatap sepatu Khao, daripada wajah tampannya. mengangkat dagu itu, membuat First mau tak mau beradu tatap dengan Khao.

"do you wanna go home?" ucap Khao lambat yang dibalas anggukan First

"tiket pulangmu hari ini hanya diam" lanjutnya

"diam seperti ini, jangan bergerak" titah Khao memijit dagu First agak keras memaksanya membuka sedikit bibir merah muda itu.

"hanya dua menit, dan kau boleh pulang, tanpa luka. aku tak akan memukulmu kecuali kau menginginkannya" Khao tak bisa menahan senyum nya yang kini terlihat miring dihadapan First. Tangan Khao masih tertahan di dagu First yang dengan ragu mengangguk sedikit.

detik berikutnya, Khao melingkarkan kedua tangannya di leher First dan menarik tengkuknya pelan. menciumi bibir yang membuatnya penasaran beberapa hari terakhir. mengecap setiap inci bibir merah muda yang terasa kaku. sebelum First tanpa sadar menutup mulutnya, lidah Khao sudah lebih dulu memasuki rongga hangat itu. nafas Khao mulai tak beraturan, menyesap manisnya ciuman ini. memainkan gundukan lunak disana dan menyesapnya berkali-kali hingga lengguhan tertahan itu menerobos masuk ke pendengaran Khao yang kini berganti memakan seluruh bibir First. sungguh menggemaskan anak ini. Ia ingin melahap First seutuhnya.

Go Down in FlamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang