16. undangan

20 7 1
                                    

Natan kini bersandar di sofa kamarnya dengan satu kaki yang naik di atas kakinya satu lagi dan mata yang terpejam, dirinya sudah membersihkan diri sepulang dari pantai tadi.

tok tok tok

Seperti ada yang mengetuk pintu, Natan membuka matanya yang terlelap tadi. Tidak langsung bangkit, Natan menunggu suara itu lagi, agar membuktikan itu hanya halusinasi nya atau memang ada yang mengetuk pintu.

"den, ini mba, udah makan belum." ucap mba Wina di luar kamar.

Natan bangkit, ceklek.

"ayo makan, udah mba siapin makanan nya." ucap mba Wina lagi.

"iya mba, bentar ya, atan ngambil handphone dulu." jawabnya.

Mba Wina mengangguk, lalu pergi turun kebawah dahulu.

Di meja makan

"mba."

"iya den."

Natan diam sejenak, entah mengapa sangat sulit rasanya untuk mencetuskan pertanyaan yang seharusnya sedari dulu sudah dirinya ketahui.

"natan anak tunggal?, atau punya adik?."  tanya nya menatap mba Wina.

Mba Wina yang sedang mengunyah makanan di mulut nya, kini bergerak melambat. Ia tak menyangka bahwa Natan akan bertanya seperti ini kepadanya.

Perlahan makanan yang ada di mulutnya terlahap habis. Mba Wina mengangkat pandangan nya, menatap mata Natan yang saat ini juga menatapnya dengan sorot mata yang membutuhkan jawaban.

"den a-tan punya a-abang." ucap mba Wina gugup.

"dari orang tua yang buang Natan, atau yang ninggalin Natan?."

Deg ...

Mba Wina tertegun.

"d-den."

"oo atan tau, dari orang tua yang buang atan kan?."

"kan kalau dari mama Kiara, mama Kiara ngga mau punya anak, tapi karna kesian liat Natan yang dititipin di panti, mama Kiara jadi mau buat ngurusin seorang anak." tutur Natan, pandangan nya tak lepas dari menatap kosong ke arah mba Wina.

Untuk kesekian kalinya, mba Wina terdiam tak berkutik, mulut nya kaku rasanya untuk digerakkan, hatinya tersayat tak menentu seperti teriris pisau kecil yang menusuk begitu dalam.

Setiap kalimat yang dikeluarkan Natan rasanya seperti pisau kecil itu. Menatap mata teduh di depannya, mata milik mba wina seperti memanas seakan terdapat api di pemilik mata itu.

"Atan udah tau semuanya mba, mungkin atan rasa ngga ada suatu hal yang ngga atan ketahui."

"tapi kalau ada, tolong kasih tau. Atan udah besar, Atan bukan anak kecil yang bisa dibohongi." Lelaki itu melenggang bangkit dan pergi meninggalkan mba Wina yang masih terdiam.

Matanya juga kian ikut memanas, Natan tidak mau terlihat lemah di depan siapapun lagi, cukup untuk Devan saja.

⋅˚₊‧ 𐙚 ‧₊˚ ⋅


Suara petikan gitar terdengar ber-alun indah di ruangan yang tertutup ini.

Robi duduk menghadap jendela kamar yang tirainya terbuka, sehingga memperlihatkan bulan dan bintang bintang, dengan gitar yang dipangku olehnya.

Robi memetikkan gitar nya seraya menatap foto yang ada dibingkai kecil berwarna putih, itu adalah Vera.

Robi mulai bernyanyi diiringi petikan gitar dari jari-jarinya .

Bumi dan Ratu nyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang