Prolog

226 26 9
                                    

Keteraturan akan terjaga jika semua makhluk memahami tempat dan memenuhi peran yang ditetapkan. Ikan tidak berusaha untuk terbang. Kelelawar tidak berusaha untuk berenang. Satu filosofi hidup yang tertulis dalam pedoman ilmu tata negara.

Hierarki kuno yang mengunci tatanan kerajaan sejak lahir. Para pangeran muda akan menjadi panglima perang, para kadet menjadi prajurit, para cendekiawan yang menjadi pejabat atau pun guru besar, tapi hanya satu yang berhak untuk menduduki takhta kerajaan.

“Bayi kembar tidak diperkenankan lahir dalam keluarga kerajaan! Lagi pula, bagaimana bisa seorang pangeran akan diakui bila dilahirkan bersamaan dengan anak perempuan?”

“Tapi, Ayah...” ucap pria muda itu mengangkat kepala. Butuh waktu lama untuk menemukan keberaniannya. Ketika beradu dengan tatapan mata yang beringas, dia segera menundukkan kepalanya lagi, nyaris tidak berani bernafas.

Raja tidak bergeming. Kehilangan satu nyawa tidak berarti apa-apa dibandingkan semua yang telah dikorbankan demi memenuhi ambisinya. Semakin lama bayi perempuan itu dibiarkan hidup, semakin cepat rasa takutnya mengkristal menjadi kemarahan. Alasannya sangat jelas. Segala sesuatu punya tempatnya sendiri-sendiri di kolong langit. Matahari dan bulan tidak bisa bersatu.

“Kuterima putrimu untuk menjadi menantu perempuanku karena kamu telah membantuku menjadi raja. Tapi sekarang, bagaimana kamu akan bertanggung jawab atas masalah ini? Bila takhtaku dalam bahaya, maka nyawamu dan semua pengikutku menjadi taruhannya. Kamu tentu paham masalah ini.”

Jung Hyunsoo memejamkan matanya. Topeng ekspresi tanpa emosi menyebar di wajah lelaki tua itu seolah-olah ketidakpedulian membentuk segel dari luar dan mengunci kerapuhan dalam bentuk apa pun di dalamnya. Saat ini dia harus bertindak sebagai kaki tangan raja, bukan ayah dari putri mahkota.

“Anak yang dilahirkan di istana pada malam ini hanya putra sulung Putra Mahkota. Tidak akan ada yang tahu bahwa anak itu kembar. Jadi, tak perlu khawatir, Yang Mulia.”

***

Hujan turun di sepanjang malam. Kim Junsang tidak punya alasan lagi untuk tetap berlutut di hadapan ayahnya. Tidak seorang pun mampu mengubah keputusan mutlak raja. Bahkan jika dia mengancam untuk menghunuskan pedang ke tubuhnya, itu hanya akan menjadi kematian yang sia-sia.

Pada akhirnya putra mahkota berjalan kembali ke istananya dalam kondisi yang menyedihkan. Dia berusaha menelan dengan tenggorokannya yang serasa terkancing dan menggertakkan gigi kuat-kuat. Kepalanya terasa berdengung.

Bayangan dua orang dewasa terlihat dari ujung lorong. Satu wanita duduk bersimpuh di bawah sedangkan yang lebih tua berdiri satu langkah di belakangnya dengan membawa bayi dalam gendongan. Pemuda itu mencoba untuk tidak terpengaruh dengan semua ini, tetap berjalan terus dengan tatapan lurus.

“Tolong izinkan dia hidup,” kata Putri Mahkota menampilkan ekspresi putus asa, menyedihkan dan memohon penuh harap. “Dengan terlahir sebagai perempuan... Itu bukan alasan yang pantas untuk mati. Aku mohon ampuni dia.”

“Itu tak bisa kulakukan,” jawab Putra Mahkota, dan Jung Yoojin terkejut mendengar betapa tegasnya nada bicara lelaki itu.

“Dia putrimu. Anak yang terlahir di waktu dan tempat yang sama dengan putramu.”

“Raja telah memberikan titahnya. Bukankah kita harus mengikutinya?”

“Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Ayah dari anak ini adalah kamu. Karena itu berikan jawabanmu sendiri.”

“Aku juga setuju,” katanya dengan cepat. “Bila tak bermanfaat di dalam kerajaan ini maka dia pantas dibuang.”

***

Teriakan penjaga berkumandang keras di istana putri mahkota. Pertanda keselamatan mereka sedang dipertaruhkan. Walaupun jeritan para dayang di sana berhasil memorak-porandakan kesunyian malam, tetapi tidak ada pasukan dari luar yang datang membantu.

Bayangan orang-orang berpakaian serba hitam muncul di bawah cahaya redup lentera. Pedang terayun tanpa ampun. Begitu cepat dan tepat. Tidak boleh ada saksi mata yang hidup. Semua harus dikorbankan melalui kekacauan berdarah demi keabsahan seorang ahli waris.

Dalam sekejap istana tersebut berubah menjadi tempat pembantaian massal. Hampir seluruh penghuni di sana sudah tidak bernyawa, kecuali mereka yang ada di barisan terakhir dan berdiri di samping putri mahkota.

Jendral Kwon berjalan masuk dan berhenti di hadapan kepala dayang istana. Percikan warna merah masih menetes dari ujung pedangnya. Dia sedang menunggu perintah tapi Perdana Menteri Jung tidak mengatakan apa-apa. Lelaki tua itu hanya berdiri tiga langkah dari tirai tipis yang menghalangi pandangannya.

“Dia anak lelaki,” gumam Putri Mahkota sambil menggendong bayi yang terbungkus rapat oleh kain. “Dia lahir sesuai kehendak Ayah. Taeyeon akan menjadi pangeran.”

“Di mana bayi perempuan itu?”

“Dia telah meninggal,” jawabnya dengan wajah datar. Mata sembab nan kemerahan itu sudah lebih dari cukup menandakan seberapa dalam luka di hatinya.

“Bayi itu langsung meninggal sesaat setelah dilahirkan,” kata Tabib Kang menambahkan penjelasan itu dengan hati-hati.

Jendral Kwon menerobos masuk ke dalam tirai dengan ekspresi tidak percaya. Dia membuka sendiri selimut yang menutupi kepala bayi itu dan meletakkan jari telunjuk di depan lubang hidungnya. Kemudian dia mundur selangkah, mengangguk untuk membenarkan bahwa bayi perempuan itu sudah tidak bernafas.

“Bakar bayinya,” perintah terakhir lelaki tua itu sebelum berjalan keluar diikuti oleh bayangan pengawalnya.

“Baik, Tuan.”

Rasa takut mencekik tenggorokannya, begitu kuat hingga wanita malang itu nyaris tersedak. Rasa takut membuat jemarinya gemetar hebat hingga mati rasa. Rasa takut membuatnya lupa bernafas. Putri mahkota harus memaksa udara untuk masuk ke paru-parunya, memejamkan mata, dan menghitung berapa jengkal kaki yang telah diambil oleh ayahnya sampai dia yakin jika mereka sudah benar-benar menghilang dari istananya.

“Tabib Kang,” panggil putri mahkota dengan nafas tersengal-sengal dan ketakutan. “Cepat periksa dia.”

“Baik, Yang Mulia.” Tabib Kang mencabut jarum akupunktur yang tertancap di leher bayi itu dan memeriksa aliran nafasnya. Kini bayi cantik itu mulai menangis, disusul dengan suara tangis dari saudara lelakinya seolah perpisahan yang menyakitkan itu bisa dirasakan oleh mereka berdua.

“Bawa Sooyeon keluar dari istana. Bagaimana pun dia harus tetap hidup.”

“Baik, Yang Mulia.”

The Moon and The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang