7. Cerita Nenek Madrim

6 6 0
                                    

Pagi ini, Atlantika pergi kerumah Fadil, untuk meminta pemuda itu mengantarnya menuju rumah neneknya, nenek Madrim namanya. Tentu saja Fadil menolak, dengan alasan malas keluar rumah karena ingin bersantai dan rebahan. Ini adalah hari ia libur bekerja. Dan gadis ini dengan tiba tiba ingin merusak masa liburan nya?.

Namun, bukan Atlantika namanya jika tidak memaksa. Cewek itu mencoba membujuk Fadil dengan segala rayuan bahkan menyuap menggunakan uang/jajan.

"Kenapa lo ga kesana sendiri? ganggu gue aja lo" tanya Fadil.

"Gue canggung kalo sendirian. Kalo sama lo kan mending, ada temen nya. Lagian nih yaa, jalan kerumah nenek kan ekstrem. Area pegunungan kan nanjak sama berkelok. Gue masih takut, kalo lo kan udah terbiasa."

"Bener juga. Kalo lo masuk ke jurang tambah susah lagi masalah nya. Lo kan pemula kalo urusan naik motor."

Atlantika mendengus kesal. Sialan. Masih sempet sempetnya mengejek dirinya.

Fadil menghela napas, "Huh iya iyaa gue bakal nganter lo kesana. Tapi sebelum itu kita ijin orang tua dulu, terus beli bingkisan dulu buat kakek nenek lo."

"Siap," ucap Atlantika dengan senyum lebar nya.

***

Sampai juga akhirnya Fadil dan Atlantika dirumah nenek Madrim. Mereka menghabiskan waktu selama 3 jam perjalanan, namun tidak terasa karena selama perjalanan itu banyak pemandangan indah pegunungan yang tidak ditemukan di perkotaan seperti rumah mereka.

Rumah nenek nya Atlantika memang berada di desa pelosok, jadi akses menuju kesana masih minim, dan jarang dilewati oleh kendaraan karena jalan nya yang masih bebatuan.

Fadil memandang rumah sederhana di depan nya dengan kagum, rumah kayu yang masih terbilang kokoh, halaman yang luas, pohon belimbing dan mangga dan juga sarang burung yang bertengger di teras rumah. "Wah, rumah ini ga berubah. Masih sama kayak dulu waktu kita masih kecil."

Atlantika tersenyum, "Ayo masuk."

"Assalamualaikum."

Setelah mengucapkan salam dan masuk kedalam rumah, Atlantika bingung karena rumah itu sangat sepi dan seperti tak ada kehidupan. Sedangkan Fadil, ia sibuk bernostalgia dengan semua interior di dalam rumah ini, persis seperti dulu katanya.

Atlantika mendengar suara orang ketawa dari arah belakang rumah. Tanpa ragu, akhirnya ia menghampiri nya. Dan benar saja, di halaman belakang nampaklah kakek dan nenek sedang mengobrol sembari tertawa, dengan kakek yang sedang membelah kayu bakar, dan nenek yang sedang memasak menggunakan tungku tradisional.

"Kakek, nenek."

Mereka menoleh, lalu tersenyum lebar kala melihat cucunya muncul dari pintu belakang. Tanpa basa basi lagi, Atlantika langsung saja menerjang mereka dengan pelukan hangat.

"Ada apa kamu kesini hm? tumben sekali. Apa orang tua mu kesini juga?"

"Nggak. Lantik kesini sama Fadil nek."

Fadil pun muncul dari pintu belakang dengan senyum canggung nya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan nenek nya Lantik ini, semenjak ia pindah ke kota.

Nenek Madrim pun langsung menyambut Fadil dengan pelukan hangat. "Udah gede yaa sekarang. Nenek kangen sama kamu, nenek kira kamu udah lupain nenek."

Fadil tersenyum, "Nggak dong nek. Nenek punya tempat tersendiri di hati Fadil."

Nenek tersenyum, "Kalian pasti lelah setelah 3 jam perjalanan. Ini nenek sedang memasak, nanti kita makan bareng bareng ya?"

Keduanya pun mengangguk.

***

Mereka pun makan siang bersama di ruang makan sederhana dirumah nenek. Suasana zaman dahulu kental sekali. Apalagi rumah ini memiliki interior zaman Belanda. Fadil terkagum, masakan nenek Madrim masih sama seperti dahulu, sangat enak, bahkan masakan ibu nya pun kalah jauh.

SAMUDRA ATLANTIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang