Epilog

285 23 4
                                    

Aku memejamkan mata dan menyatukan kedua tanganku untuk berdoa. Semoga Sahi mendapatkan tempat yang indah dan layak di sisi Sang Pencipta. Di samping ku Jihoon juga melakukan hal yang sama, setelah itu kami meletakkan bunga.

"Sudah?"

Aku mengangguk dan menerima uluran tangan Jihoon untuk berjalan keluar dari rumah pemakaman. Kami saling mengaitkan jari satu sama lain. Ini adalah pertama kalinya aku datang ke pemakaman Sahi, sejak ia meninggal setahun  yang lalu.

"Mau langsung pulang atau mau kencan dulu?" tanya Jihoon sebelum masuk ke dalam mobil.

Aku meletakkan telunjukku di dagu sembari berpikir, "uhm pingin kencan, tapi apa tidak apa-apa?"

Jihoon mengusap kepalaku lembut. "Ibu bilang kan gak apa-apa. Ibu yang akan menjaga Yeji dengan baik. Kamu kan juga butuh hiburan. Sudah hampir 5 bulan kita nggak pergi berdua." Jihoon mengecup bibir ku singkat.

Aku dan Jihoon sudah menjadi orang tua baru selama kurang lebih 5 bulan. Anak kami lahir dengan sehat, cantik dan sempurna. Park Yeji namanya.

Berat badan ku juga naik 20 kg. Tapi, Jihoon tidak merasa keberatan dengan itu. Justru ia selalu mensupport ku untuk tetap bahagia. Ternyata selama aku hamil, diam-diam Jihoon belajar parenting tanpa sepengetahuan ku.

Jihoon juga sempat pergi ke psikolog untuk mencari solusi dari rasa gelisah nya, akibat trauma terhadap kekerasan yang pernah dilakukan oleh ayahnya. Aku bersyukur semuanya berjalan dengan baik.

Kami juga tidak tinggal di apartemen lagi. Karena Jihoon membeli rumah, tepat ketika kehamilan ku memasuki usia kandungan 7 bulan. Supaya jika Yeji sudah bisa berjalan, putri kami bisa melangkah dengan leluasa di halaman rumah.

Akhirnya aku dan Jihoon pergi ke mall. Aku diajak makan dan belanja pakaian.

"Belikan juga untuk Yeji?" ujarku.

Jihoon mengangguk mantap. "Ayo kita belikan untuk putri kecil kita."

Rasanya sudah lama sekali aku tidak berkencan berdua begini dengannya. Waktu berjalan begitu cepat tanpa aku sadari. Sekarang aku tidak lagi memikirkan diriku sendiri, tapi memikirkan Yeji. Segalanya Yeji dulu, Jihoon, baru diriku.

Saat sedang membayar belanjaan pakaian dan keperluan untuk Yeji. Tiba-tiba saja Jihoon menepuk keningnya.

"Sayang, aku lupa!"

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Kita butuh baju hangat, kita kan mau liburan," jelasnya.

Keningku berkerut tidak mengerti liburan apa yang dimaksudkan.

"Aku bayar dulu, nanti aku jelaskan sambil makan." Jihoon memberikan credit card nya pada kasir.

Aku menunggu dengan sabar sambil menenteng dua kantong belanjaan besar milikku, sedangkan milik Yeji, Jihoon yang membawanya. Urusan belanja selesai, kami pun pergi makan.

"Jelaskan liburan apa?" Aku mendesaknya.

"Kamu ingat kan, Bang Hyunsuk ngasih kita hadiah tiket pesawat dan hotel sebagai hadiah resepsi?"

Aku mengangguk ragu sembari mengingat kembali hal itu.

"Beberapa hari lalu Bang Hyunsuk telepon aku, ngingetin kalau tiket itu batasnya sampai akhir bulan ini. Lewat dari itu hangus, baik pesawat dan juga hotelnya," jelasnya lagi.

"Oya? Terus bagaimana?" jelas membuat ku seketika bimbang.

"Aku sudah bicara sama ibumu dan ibuku. Mereka malah nyuruh kita untuk liburan. Yeji diurus mereka gantian. Ya, begitu lah katanya. Menurut mu gimana? Sejujurnya aku nggak enak juga sama Bang Sukkie. Dia pasti menyiapkan itu dengan harga mahal. Meskipun aku bisa membeli tiket pesawatnya juga hotel, tapi kan tidak sopan juga kalau kita mengabaikannya gitu saja. Gimana?" Jihoon menunggu jawabanku.

My Healer // 💎 Park Jihoon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang