Bab 32 Pelindung?

237 25 1
                                    

* Hai² apa kabar kalian?

Maaf ya kelamaan g update ✌️

[]

Jihoon menarik tubuhku dan mendekap ku. "Pertanyaan macam apa itu, hm?"

"Bukan maksud apa-apa, hanya—penasaran," kilahku.

Sebenarnya aku juga ingin tahu hal itu, meskipun aku tahu, jawabannya akan menyakitkan.

"Aku mencium wanita lain selain kamu ya, hm...." Jihoon seperti menimbang jawabannya. "Aku rasa tidak. Hanya kamu."

Keningku berkerut. "Masa sih?" Aku tidak percaya hal itu. Bagaimana pun Jihoon itu lumayan terkenal di kalangan perempuan waktu zaman sekolah. Aku tahu karena adikku Junkyu pun sama. Cukup populer.

Keningnya ikut berkerut mendengar penurunan ku seolah tidak percaya. "Kamu meragukan ku? Apa aku senakal itu di pikiranmu?"

Ada jeda beberapa saat. Sampai akhirnya aku yakin kalau Jihoon memang jujur padaku. Lantas, aku terkekeh seolah semua tidak terjadi. Namun, sebaliknya, ia menatapku seolah menelisik sesuatu dari dalam mataku.

"Baiklah, aku percaya padamu," jawabku lagi.

Jihoon semakin mengeratkan pelukannya dan memandangi ku lagi dan lagi penuh telisik. Seolah dia tidak mempercayai jawabanku barusan.

"Apa?" tanyaku.

"Bukannya harusnya aku yang tanya seperti itu padamu? Ada apa sebenarnya? Hari ini kamu agak aneh. Memangnya apa keuntungan mu bertanya padaku soal barusan? Siapapun wanita yang aku cium dimasa lalu, itu pasti sedikit menyakiti mu. Dan kamu nggak bisa berbuat apapun. Hal yang sama pun terjadi padaku, jika bertanya padamu. Sayangnya aku tidak mau peduli dan tidak mau cari penyakit. Masa lalu mu tetap menjadi milikmu. Begitu dengan masa laluku. Sekarang, katakan sejujurnya ada apa denganmu sampai harus bertanya seperti itu?" Jihoon menggeser tubuhku hingga makin merapat dengan tubuhnya. "Jangan menyembunyikan sesuatu dariku, Sayang," imbuhnya dengan berbisik.

Hembusan nafasku terasa berat, begitu juga dengan dadaku yang seperti tertindih sesuatu yang menyesakkan. Jihoon begitu berarti bagiku, aku tidak mau menyakitinya dengan hal-hal yang akan membuatnya renggang dengan kedua orangtuanya.

"Ada apa, Yeri? Bukankah sekarang kita ini suami dan istri? Tidak ingat apa nasihat ibumu yang bilang kalau komunikasi kita harus baik. Meskipun akan menyakitkan." Jihoon mengusap lenganku lembut.

"Aku takut , Hoonie-a," cicitku.

Tenggorokan ku rasanya kering dan tercekat. Beberapa kali aku harus menelan saliva ku dengan begitu kasar. Kakiku juga tidak henti-hentinya bergerak untuk menetralisir rasa gelisah ku.

"Takut apa? Ada aku. Selama aku hidup,  tidak ada satupun manusia atau hantu yang ku biarkan menyakiti mu." Jihoon mengatakannya dengan suara lembut tapi tegas.

Aku terkekeh geli untuk sejenak mendengar ucapannya barusan. Dia pun ikut tersenyum.

"Beberapa hari ini sebenarnya aku selalu gelisah. Sebentar." Aku melepaskan dekapan dan berjalan mengambil tas kerjaku yang ada di meja dan mengeluarkan amplop coklat.

Jihoon memperhatikan ku dengan menyilangkan kaki dengan tatapan serius.

"Apa itu?"

Aku duduk lagi di sampingnya dan memberikan amplopnya padanya. "Bukalah," ucapku.

Jihoon menurut dan membuka amplop tersebut. Lantas mengeluarkan isinya, dengan keningnya yang berkerut dalam. Kali ini sebaliknya, aku menatapnya dengan tatapan penuh sarat makna.

My Healer // 💎 Park Jihoon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang