Bab 42 Pamit

195 22 7
                                    

Kehidupan ku banyak sekali yang berubah secara tiba-tiba. Dari kesendirian karena patah hati, bertemu Jihoon, berpacaran dengan Jihoon, bertemu lagi dengan Mashiho, lalu tiba-tiba menikah, lalu sekarang aku hamil. Semua seperti mimpi bagiku karena alurnya yang begitu cepat.

Seminggu yang lalu aku dirawat di rumah sakit, kurang lebih 3 hari. Setelah itu aku pulang ke apartemen dan ibu mertuaku yang ingin merawat ku sampai aku benar-benar sehat. Ibunya Jihoon sangat gembira mendengar kehamilan ku. Jangan tanyakan soal ayah mertuaku. Tentu saja dia sibuk. Ibuku dan Junkyu juga datang menjenguk sesekali. Ibuku dan ibunya Jihoon mulai akrab dan sering ghibah yang aku dengar.

Sebelum ibu mertuaku kembali ke Busan. Ia membuat kan aku beberapa makanan sehat juga menyiapkan sayur dan buahan untuk beberapa hari ke depan untuk ku. Sehingga kulkasku yang kecil terasa sesak dan sempit.

Aku juga diberikan kertas kecil berisikan tulisan tangan ibu mertuaku di setiap sudut yang bisa terjangkau olehku. Seperti saat ini di meja makan. Aku membacanya sambil tersenyum.

'tolong makan yang banyak ya. Sayur dan buahnya dimakan. Meskipun enek dan mual, pelan-pelan saja. Vitaminnya juga jangan sampai terlupakan.'

Untuk sebagian orang mungkin yang namanya ibu mertua merupakan sosok yang menakutkan. Namun, bagiku tidak. Ibu mertuaku justru seperti ibuku sendiri.

Tangan putih dengan urat yang menyembul,  melingkar di perutku. "Sedang apa berdiri sendiri disini, hmm?" Suara Jihoon masih serak karena memang dia baru bangun tidur.

"Aku lapar tapi melihat tulisan ini membuatku terharu. Ibumu sangat perhatian sekali."

"Ibuku itu memang wajahnya saja terlihat judes. Padahal hatinya hello Kitty. Ibu tahu kamu adalah sumber kebahagiaan ku, itu sebabnya dia juga menyayangi mu." Jihoon mengecup kepalaku. "Mau sarapan apa? Biar aku siapkan."

"Aku mau sarapan kamu dulu boleh?" tanyaku tanpa ragu.

Jihoon membalik tubuhku supaya bisa menghadap ke arahnya. "Bilang apa barusan?"

"Mau sarapan kamu dulu. Sudah seminggu libur. Nggak kangen sama aku?" aku mengalungkan tanganku ke lehernya dan mengecup lehernya lembut. Jihoon tidak memakai kaos jadi menampilkan perutnya yang kotak-kotak indah.

"Me-memangnya boleh? Bayinya bagaimana?"

Mendengar ucapannya, kegiatan ku mengecupnya terhenti. Digantikan oleh tawaku yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Sepertinya Jihoon memang masih bingung soal ini. Padahal sebelumnya, dokter juga sudah menjelaskan kalau boleh melakukan hubungan suami istri selagi kandungan ku sehat dan tidak bermasalah sama sekali.

"Memangnya kamu pikir kalau wanita hamil tidak boleh bercinta?" Aku melihat matanya membulat wajahnya bingung.

"Takut membuatnya terkejut," ucapnya polos.

Tawaku meledak lagi. Aku ingin mengatainya bodoh. Tapi, tidak, aku akan memakluminya karena memang ini pertamanya bagi kami. Aku juga sebenarnya agak takut, tapi setelah mendengar penjelasan dokter, aku bisa merasa lega. Dan juga hormon ku yang tidak stabil ini kadang tidak tahu malu. Kalau ditahan aku akan uring-uringan.

"Memangnya kamu sedang bermain petak umpet ya? Hmm?" Aku menangkup wajahnya setelah tawaku reda. Mengusap wajahnya lembut merupakan salah satu ngidam ku. "Kan pelan-pelan. Itu tidak akan melukai atau membuatnya terkejut. Lagian, dari artikel yang aku baca. Jika istri hamil itu suami harus sering-sering melakukan hubungan intim. Supaya mempermudah jalan lahir nanti. Paham?" Aku mengecup bibirnya lembut.

Anggukan kepalanya menjawab pertanyaan ku. Lantas, bibirnya tersenyum dan Jihoon mencium bibirku lembut. Percayalah, berciuman, berpelukan dengannya tidak membosankan sama sekali. Justru hal itu membuatku semakin candu dan tidak ingin jauh darinya.

My Healer // 💎 Park Jihoon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang