Bab 36 Sisi Gelap

166 19 1
                                    

"Jihoon-a."

Aku menatap kedua orangtuanya Jihoon bergantian, lantas aku menatap punggung Jihoon. Kedua tangannya  sedang melindungi kepalanya.

"Sayang, cukup. Hentikan. Ayo, kita ke kamar. Tenangkan dirimu." Ibu Park membujuk suaminya untuk meninggalkan tempat itu." Yeri, bawa Jihoon ke kamarnya. Tolong bantu dia."

Aku mengangguk dan langsung memeluk erat punggung Jihoon yang basah oleh keringat.

"Sayang...."

"Tegakkan kepalamu, Sayang. Sudah tidak apa-apa. Hanya ada aku disini." Aku membujuk suamiku untuk segera mengangkat kepalanya.

Dengan ragu, Jihoon membuka kedua tangannya dan menegakkan kepalanya. Lalu, memandangku dengan wajah suram dan sedih. Bibirnya bergetar dan menyebut namaku tanpa suara.

Aku mengangguk dan mengembangkan senyum, tidak lupa aku mengusap wajahnya yang penuh keringat. "It's oke."

Jihoon berdiri, aku pun membantunya. Ku rasakan jika tubuhnya sedikit gemetar. Hari ini aku bisa melihat, ketakutan dimatanya. Pria kekar di samping ku, yang selama ini selalu menjadi penenang bagiku, pendengar yang baik bagiku, kini seperti orang yang berbeda.

Tanganku yang melingkar di lengannya pun, dipegang erat. Sesekali kami saling melihat untuk mendapatkan penguatan satu sama lain menaiki anak tangga , hingga kami sampai di kamarnya.

Jihoon duduk di ujung kasur. Lantas, aku ingin mengambilkan air mineral untuknya yang ada di minifrize. Setelah mengambilnya serta membukanya, aku memberikannya pada suamiku yang menatapku dengan tatapan berbeda dari biasanya.

"Minum dulu, jangan liatin aku gitu," ujarku sembari menyodorkan botol minum.

Bukannya mengambil botol air yang ada di tanganku. Jihoon malah mendekapku dan membawaku ke atas pangkuannya. Kepalanya bersandar di bahuku.

"Maafkan aku Yeri. Aku lemah," tuturnya pelan.

"Tidak apa-apa. Semua orang punya kelemahan dan kekuatan tersendiri. Tidak ada manusia yang sempurna di bumi ini," jelasku sembari mengusap lembut punggungnya.

Jihoon akhirnya minum air yang tadi kuberikan. Ia meletakkannya di atas nakas tidak jauh dari posisinya duduk. Lalu kembali ke posisi tadi di bahuku.

"Ayah selalu seperti itu sejak aku dan kakakku kecil. Jika Ayah sudah mengangkat tangannya, tubuhku otomatis merunduk. Itu terjadi begitu saja, tubuhku seperti ingin melindungi diriku sendiri. Kalau ibuku membantu ku dan kakakku, ibuku juga kena imbasnya. Ayah takut sama ibu, takut kalau ibu pergi meninggalkannya."

Suara Jihoon sendu tidak seperti biasanya. Selama ini ia terlihat kuat, keren dan seperti manusia tidak kenal takut. Namun, sosok itu seperti kamuflase. Dibalik itu semua ada ketakutan dan trauma yang besar. Mungkin itu salah satu sebabnya Jihoon tidak bisa menolak perintah ayahnya.

"Ayah sebenarnya baik kalau kami menurut," lanjutnya lagi.

Aku meletakkan kepalaku diatas kepalanya. Beberapa kali aku mengecupnya. "Menurut itu baik. Apalagi sama orang tua. Apa ibumu juga sering dipukuli?"

Gelengan kepala Jihoon menjadi jawabannya. "Ibu terluka dengan omongan ayah yang kasar."

Akhirnya aku paham dan helaan napas panjang ku keluarkan dari dalam dadaku yang agak sesak karena shock.

"Sebenarnya aku tidak ingin menunjukkan sisi gelap ku seperti ini padamu. Saat bersamamu, aku tidak takut Yeri. Kamu seperti sumber kekuatan untuk diriku. Hanya saja tadi, aku benar-benar terkejut Ayah hampir melakukannya di depanmu. Aaahh, aku malu sekali." Jihoon menutup wajahnya di tubuhku. "Maafin suamimu ini." Terdengar gumaman.

My Healer // 💎 Park Jihoon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang