2. Perjamuan

36 15 0
                                    

Nyiur semilir anila di siang menjelang sore itu menerpa kuncup-kuncup tulip pancarona di selesa halaman kediaman Nyonya Keenan Oberon, sekali-dua-kali terdengar gelak tawa milik si kecil Noah yang sibuk merecoki anjing malangnya yang belum pulih sepenuhnya itu dengan mainan bola rajut pemberian Eisha barusan, sedang Ms. Odette masih takzim meneguk secangkir kopi luwak buatan Eisha. Naas, semilir angin rupa-rupanya membawa koloni altokumulus yang menurunkan rintik yang berangsur deras.

"Mengobrol dulu lah ms. di dalam, dua payung sekalipun tidak mampu menghindarkan ms. Odette, Noah, dan Noella dari hujan sampai gerbang depan, lagipula apa ms. tidak kasihan denganku yang kesepian menunggu Keenan pulang?" begitu pinta Eisha memelas dengan kedua hazelnya yang berbinar, membuat ms. Odette tak memiliki pilihan lain selain menurutinya, lagipula alasan itu benar, ms. Odette juga tak ingin ambil resiko Noella akan jadi lebih sakit lagi setelah kehujanan.

Itu pertama kalinya bagi ms. Odette memasuki mansion itu, seperti yang ia dengar, rumah dengan pilar-pilar tinggi gaya renaissance bercampur lukis dinasti umayyah di langit-langit yang remang itu memang menakjubkan, kedua wanita itu duduk dekat perapian. "Aku dengar Keenan tinggal sendirian di mansion ini sejak umur lima belas tahun, apa rumah ini tak terlalu besar untuknya saat itu?"

"Keenan itu bukan saya ms. yang kalau malam minta ditemenin ke kamar mandi soalnya takut hantu, dia mah ada siluman buaya separuh singa juga kayaknya chill-chill aja ms, saya yang sering takut sebenarnya tinggal disini," jawab Eisha ringan sekaligus menyampaikan keluh-kesah. "Kenapa nggak pindah aja ke apartemen yang lebih kecil gitu?" sahut wanita yang dulunya warga negara Perancis itu menawarkan solusi. "Katanya rumah ini peninggalan kakeknya ms, Keenan nggak bisa gitu aja ninggalin," jawab Eisha sembari menghela, turut membuat ms. Odette prihatin, "Keenan juga nggak punya saudara ya? Benar-benar mandiri sejak kecil, meskipun dia tukang bikin onar saat kuliah, paling tidak dia berbakti pada orang tuanya dengan menjaga rumah ini ya," anggukan-anggukan tipis ms. Odette berepetisi yang dibalas senyum takzim Eisha.

"Sekali-kali aku ingin mengunjungi makam ayah dan ibunya, bolehkah aku kesana suatu hari?"

Lengang. Pertanyaan ms. Odette menggantung menelisik diantara agamnya pilar-pilar.

"Eisha? Kamu dengar aku?"

"Ah.. iya.. tentu saja ms. aku akan mengantar ms. Odette lain waktu," dara itu terburu mengunggah senyum canggung mengangguk, sementara puing-puing ingatannya menyeruak seiring pikirannya yang berkecamuk, puan itu memilih segera bangkit dari sofa.

"Bagaimana jika kita membuat nanaimo bars saja?"

Memasak.

Tidak ada kegiatan genosida terhadap waktu yang lebih Eisha nikmati daripada menghabiskan waktu di dapur sepanjang hari, padahal dara itu tak memiliki cukup pengalaman di bidang mengenali rempah-rempah ataupun membalik telur dadar ukuran jumbo, tapi anehnya apapun yang ia buat rasanya tak pernah mengecewakan.

Senja itu setidaknya, sudut-sudut lengang rumah terisi ringan bincang, ubin-ubin marmer terasa lebih hangat, sekali-dua kali gonggongan Noella yang nampaknya mulai pulih itu menelisik telinga disusul tawa milik Noah. "Noah jangan lari-lari!" begitu tegur Ibunya dari dapur yang tak suka kelikat anaknya yang berlari-lari di mansion orang.

"Biarkan saja ms, jarang-jarang ada anak kecil berlarian di rumahku," sahut Eisha mengurva senyum kembali mengaduk coklat yang mulai leleh diatas teflon.

"MAMAAA!"

Di hari yang sudah petang itu, jeritan Noah menggaung tiba-tiba, melesak melalui pilar-pilar menghentikan perbincangan kedua wanita yang masih berada di dapur sontak berlari mencari juvenil yang menjerit histeris itu. Noah berdiri, menangis tepat di depan tangga, tangga menuju basemen.

Zamhareer.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang