11. Koran Tahun 2007

2 0 0
                                    

Dulu, Eisha percaya, bahwa cinta yang murni hanya bisa diciptakan oleh ikatan darah, itu sebabnya tak pernah sekalipun Eisha meragukan ataupun menginginkan cinta yang lain selain cinta yang orang tuanya berikan padanya. Kencan itu suatu aktivitas yang konsumtif, kamu harus meluangkan waktu untuk setidaknya bercengkrama sambil meminum sesuatu dari sebuah cafe atau berjalan-jalan mengunjungi destinasi wisata, Eisha tak punya waktu dan uang untuk itu, ibunya sakit, daripada menghabiskan uangnya untuk menonton bioskop lantas bercumbu didalamnya, akan lebih baik baginya mengambil waktu kerja part-time untuk membayar biaya rumah sakit.

Namun sewalnya dalam hidup Eisha, ia harus kehilangan cinta itu sedikit lebih cepat dibanding teman-teman seusianya, Ayahnya yang kecelakaan dan ibunya yang koma selama bertahun-tahun, Eisha tidak pernah mengira ia akan kehilangan dua keberkahan dalam hidupnya secepat itu, mungkin itu mengapa Tuhan membuatnya bersirobok dengan Keenan saat hampir terlambat kelas ataupun menyelamatkan Latte hari itu.

Agar dirinya sadar, bahwa selain cinta dari kedua orang tuanya, ada keberkahan lain yang Tuhan tengah siapkan untuknya, sehingga kini, setelah beberapa tahun berlalu, setelah mereka menyatakan ikatan suci dihadapan Tuhan, disinilah mereka berdiri dengan Keenan dan selirak masa lalunya yang masih ia sembunyikan.

Butuh beberapa waktu untuk Eisha memahami permintaan Keenan, untuk menunggunya dari rerak fraksi-fraksi yang belum selesai. Eisha tidak tahu arahnya akan kemana, dara itu tidak tahu apakah Keenan adalah hujan badai atau sekedar anak lelaki yang tengah melarikan diri dari petirnya. Tapi apakah itu hujan badai atau Keenan dan dirinya sendiri, lelaki itu hanya meminta untuk ditunggu bukan?

"Ya ampun!"

"Sepertinya dia anak terlantar?"

"Bagaimana ini?"

Cuap-cuap penuh rasa iba dan kelimpungan terdengar tak jauh dari tempat mereka berdiri. Seorang anak lelaki lusuh nan imbesil jatuh tak sadarkan diri dengan tas besar yang menimpanya.

Konversasi mereka terputus, memilih beranjak kaki turut menyaksikan dari dekat.

"Ke Rumah Sakit Saint-François d'Assise aja, Nan, aku telpon temenku yang kerja disana biar dia ditangani dengan cepat," Eisha menutup pintu mobil seraya mengangkat kepala juvenil lusuh yang pucat itu ke pangkuannya.

[][]

"Dia dehidrasi, lambungnya kosong, dan.."

Penjelasan Dr. Henessy menggantung di tengah-tengah, urung diungkapnya sembari matanya tertuju pada lelaki kecil yang kini sudah berbaring di ranjang ICU. "Apa?" Eisha menagih kelanjutannya. "Ini masih dugaanku tapi mungkin ada yang salah pada sistem pencernaannya, aku mau mengendoskopinya kalau kalian izinkan—"

"Tentu saja, aku akan menanggung biayanya," Keenan mengangguk cepat, "pindahkan saja ke kamar yang lebih layak dan aku akan mengurus administrasinya,"

Belum Keenan beranjak, Eisha meraih lengannya, "aku tunggu disini ya nemenin anak ini," Eisha berucap seraya tersenyum simpul berharap persetujuan dibalas Keenan yang segera takzim mengangguk, sehingga kini puan itu duduk disebelah ranjang kecil tempat sang juvenil berbaring hingga ainnya menangkap tas hitam besar yang dibawa sang anak lelaki malang yang bahkan ia tak ketahui namanya itu.

Dibukanya perlahan tas itu, menampakkan tumpukan koran-koran bekas yang lusuh. "B-bibi... jangan diambil..." suara rintih tiba-tiba lirih menelisik telinga Eisha, membuat sang puan spontan menoleh mendapati sang juvenil berparas timur tengah itu terbangun. "Eh jangan bangun dulu, sayang, kamu masih sakit, kamu cari orang tua kamu kah? biar bibi yang hubungi—"

"orang tuaku sudah meninggal bibi, bibi ini siapa?"

Sejemang Eisha terdiam tanpa sadar, sehingga cepat-cepat ia mengurva senyum segaris. "Nama bibi, Eisha, kalau nama kamu siapa?" sang puan mengulur tangan.

Zamhareer.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang