10. Ain dan Sanubari

2 0 0
                                    

Itu adalah sepertiga malam pada hari kelima semenjak Eisha tak diperbolehkan keluar dari kamarnya, waktu dimana malaikat-malaikat Tuhan turun dari mahligai, menggapai rumah-rumah manusia yang berlitani, turut mendengar dan menelungkupkan tangan. Eisha sudah terlelap disamping Keenan yang masih memandang pagu kamarnya yang telah gelap, besok adalah hari Minggu, hari dimana Keenan akan mengantar Eisha ke gereja, hanya mengantar, tak ikut berdo'a didalamnya.

Keenan seorang muslim, setidaknya dahulu ia mengaku begitu, jauh saat ia masih setinggi kaki amminya, ia masih ingat bagaimana Baba mengajarkannya ruku' sembilan puluh derajat di umur tujuh, hadiah sajadah bertuliskan namanya dari Ammi di umur sembilan, dan pertama kali menjadi muadzin di masjid Kota Quebec didampingi Paman Eliaz. Bagaimanapun peti-peti memoir itu telah dibakar, ada hal-hal yang tidak bisa lenyap.

Daksa teruna itu bangkit, perlahan beranjak dari kasur dan membuka pintu tanpa berharap istrinya bangun. Seperti malam-malam sebelumnya, dengan harap yang belum sepenuhnya sirna, ia memasak kebab daging sapi dan susu kambing kesukaan pamannya, berharap kesekian kalinya, lelaki itu kembali pada kewarasannya dan memberitahu Keenan cara menghentikan kegilaannya.

Menuju basemen.

Banyak yang telah berlalu, hingga kontinum rencana adikara Tuhan teraki sedemikian carut-marut. Keenan tidak pernah membenci Tuhan, ia tahu betul tidak ada Dzat yang lebih berkuasa dari-Nya, tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi di bentala ini terlewat oleh kuasa-Nya, tapi jika memang kita telah dilahirkan diatas mangsi sebahat yang telah sadrah kita terima dengan sendirinya, kenapa hidupnya harus dibuat seberselirak ini? Apa memang sejak lahir sanubarinya sudah selapang itu?

Bukanlah ia ingin menjauh dari Tuhan namun pula siapa pula dirinya hendak ia mendekat?

Pintu diketuk pelan, Keenan menekan kenop pintu melangkah masuk, berjalan sejenak hingga sampai perpecahan lorong lantas melangkah masuk ke tempat Kakek Eliaz terduduk. "Assalamualaikum, Maman."

Mungkin sebab dinding dan lantai yang lembab nan dingin, bergaunglah suara Keenan, membuat pria tua yang sudah terlelap di atas kursi terbangun lesu, sehingga berjibaku kedua ain mereka, lantas tatapan kakek tua itu menjadi sendu. Keenan berjalan mendekat, menapaki lantai yang lembab dengan bau anyir yang semerbak.

Tangannya lembut meletakkan segenggam kebab diatas telapak keriput lelaki itu lantas mengembus nafas pelan, "Makanlah Maman," dengan kedua lutut menyentuh lantai lelaki itu pula menyodorkan susu kambing dengan senyum simpul yang menggurat di parasnya, namun sewal pria yang sudah menggantikan figur babanya selama bertahun-tahun itu tak kunjung bergeming, menghilangkan gurat-gurat senyum di wajah Keenan. "Makanlah Maman, karena aku ingin bertanya padamu setelahnya.." belum lelaki itu meraih telapak tangan Kakek Eliaz dan pria tua itu langsung mengempasnya.

"Mana tasbihku? Aku baru ingat... mana tasbihku.."

Begitu kalimat pertama keluar dari labium kering miliknya, sepertinya kali inipun kondisi mental lelaki itu belum stabil, "makanlah dulu, Maman,"

"MANA TASBIHKU?!!!"

Sejenak, gaung yang dihasilkan oleh seruan lelaki tua itu tak menemukan balasannya, Keenan bisu, masih dengan tangan kanannya yang menyodorkan segelas susu, bahkan pecahan gelas kemarin masih ada ditempatnya. "Kalau tidak mau makan, minumlah susu ini saja Maman—"

PRANGGG!

Gelas itu dibanting, kali ini bersama dengan sepiring kebab yang ada di tangan lelaki tua itu, membuatnya berkeping dengan kebab hangat buatan Keenan yang kini tergeletak di tanah bercampur kerak darah dan susu yang lagi-lagi tumpah. Teruna itu tertunduk, tak sekalipun lagi sudi bersitatap dengan pria tua yang baru saja mengempaskan makanan pemberiannya, sedang rahangnya mengeras, irisnya memerah seiring dengan kedua lututnya mulai berdarah.

Zamhareer.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang