6. Fraksi Kenopsia

11 1 0
                                    

Penyap. Jika bukan karena supir taksi mereka yang kelewat banyak bicara tentang putrinya yang masuk Universitas Toronto maka mungkin adveksi yang menguar dalam ruangan berkapasitas empat itu akan lebih dingin lagi. Pikiran Eisha berkecamuk, ia memang tak menceritakan insiden yang terjadi di makam ayah mertuanya itu, dan Keenan jelas tahu eksistensi pria tua gila yang sering berkeliaran di sekitar hutan mansion mereka dan bagaimana pelayan-pelayan mansion memperlakukan pria tunawisma itu. Tapi kenapa wajahnya bisa ada di majalah itu, berdiri dengan gurat wajah tegas tersenyum merangkul Keenan.

Taksi berhenti, tepat di depan lobby hotel tempat mereka akan menghabiskan malam selanjutnya, sementara Eisha melakukan transaksi, suaminya itu keluar dari mobil dan meninggalkannya di belakang.

"Keenan!" panggil puan itu seraya mempercepat langkah menyusulnya sementara tungkai lelaki itu tak berhenti, berjalan menuju resepsionis mengambil kartu kamar lantas menderap cepat menuju lift. "Barang-barang kita udah di kamar kan ya?" bahana Eisha mengoyak sunyi ruang dalam mesin katrol yang tengah menuju lantai lima.

"Udah," begitu jawab sang teruna singkat, dibuatnya Eisha semakin menggaruk tengkuk menggumul tanya, hingga kalimat itu berhasil keluar ke permukaan setelah menelaah kata mana yang paling sopan. "Selama ini representatif ayah kamu itu kakek Eliaz ya? Aku kok nggak pernah tau," dengan pemelanan volume yang berangsur mengecil kuriositas dalam benak Eisha akhirnya dapat terartikulasi.

"Ya.. sudah aku bilang kan dia sibuk kerja, gak punya waktu untuk ketemu," 

Pintu lift terbuka, tak menunggu lebih lama sehingga Keenan melangkah cepat lagi-lagi mengekor Eisha sebab tak berjalan beriringan. "Kenapa beliau bisa jadi seperti itu, Nan? Apa nggak lebih baik dibawa ke tempat rehabilitasi atau rumah sakit jiwa aja?" Eisha yang masih menyicit itu mempercepat tungkai langkahnya agar sejajar berjalan sepanjang koridor. "Udahlah, Sha.."

"Maksudku, kalau kamu bilang lebih awal aku kan bisa bersikap lebih sopan saat bertemu, aku bahkan lari dari beliau di bukit..."

Telah lupa puan kirana itu seiring labiumnya tanpa inspeksi merangkai kata, Keenan melarangnya berziarah ke makam ayahnya, bahkan hanya untuk melihat nama pada nisan yang memudar itu dari kejauhan sekalipun. "...belakang.." lanjutnya bertandas pelan selaras dengan terhentinya kedua pasang tungkai di depan pintu kamar.

"Bukit belakang? Kamu ngapain?" hasta yang hendak menekan kenop pintu itu mengurung aksi, tak memberikan pilihan lain bagi Eisha yang payah berdusta.  "Aku... ke makam ayah kamu bentar, waktu kemarin aku ke kolumbarium orangtuaku, rasanya nggak enak kalau cuma berziarah keㅡ"

"Bukannya aku udah sering bilang, jangan pernah kesana lagi bahkan hanya untuk naik ke bukitnya, kamu tau nggak seberapa lancangnya itu?!"

Tak sama sekali Eisha terfikir akan meninggi intonasi bahana lelaki itu hanya karena ia ingin menyapa sejenak ayah mertua yang tak pernah ia temui, tercekat bersama panar atmanya mengudarakan pembelaan. "Aku cuma mau naruh beberapa tangkai bunga di atas makamnya, tapi Kakek Eliaz yang datang dan berteriak-teriakㅡ"

"Dan kamu nggak bilang sama aku?!"

"Aku belum selesai bicara, Nan! Kenapa aku terus sih yang harus jawab semua pertanyaan kamu? Aku cuma nanya, siapa beliau, apa yang terjadi sama beliau, kamu nggak pernah cerita sama akuㅡ"

"KAMU NGGAK BERHAK TAU!" 

Hari itu, 25 hari menuju ulang tahun pernikahan mereka yang pertama, di Toronto yang menjadi kota dengan agenda kencan mereka yang belum selesai, namun Keenan baru saja menyuara intonasi yang lebih tinggi dari siapapun yang pernah menuding kesalahannya. 

"Masuk."

Lepas matahari tenggelam dalam tangan Tuhan, merakit lukis mayapada dalam warna kirmizi sebelum benar-benar dilanda gelap. Eisha belum berbicara dengan Keenan, tak ada rayuan makan malam, kelakar saat mengunyah, ataupun konversasi yang bersahut-sahutan.

"Sha," begitu bariton Keenan menyesak sunyi, namun puan yang masih mengeluarkan pakaian dalam koper itu kelikatnya enggan menjawab. Membuat Keenan yang masih berkutat dengan laptopnya kini harus mengatensi penuh visusnya pada sang istri. "Aku memanggil kamu, Nyonya Oberon," diulangnya sekali lagi seruan pemuda itu, kali ini dengan nada yang sedikit lebih tinggi dan alis yang berkedut, tapi Eisha tak mengindahkan, diam seraya melanjutkan lipatannya pada baju-baju bekas pakai untuk dimasukkan ke plastik kotor. Keenan beranjak dari kursinya, mengambil segelas sauvignon blanc yang ia belum habis teguk meninggalkan kulacino di meja, menghampiri istrinya yang masih ungkal berbicara padanya itu.

"Bisa diselesaikan nggak marahnya?"

Lengang, tak ada balasan dari monolog itu, Eisha yang tepat berada di depan mata Keenan itu bahkan tak menatapnya sama sekali, membuat siuh nuraganya enggan mengalih visus sebelum netra hazel itu itu bertandang pada ain hitamnya.

"Eishaㅡ"

"Aku kira aku nggak berhak menjawab karena aku juga nggak berhak bertanya," puan itu menukas cepat membalik argumen tanpa menggerakkan sesentipun ekor matanya, menghasil Keenan sadrah mengacak kasar rambut hitamnya. "Hal yang udah terjadi bisa nggak, nggak usah dibahas-bahas, buat apa?"

Zamhareer.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang