7. Eid Al-Adha

6 1 0
                                    

warning : 18+, disturbing content

Eisha terlelap dalam rasa hangat, dalam pelukan Keenan serta aroma musk yang senantiasa menguar dari tubuhnya. Puan itu mengerang halus, membuat torso berbahu lebar itu mengusap-usap punggung si kekasih sembari mengeratkan dekapan, menghirup puncak kepala dara itu seraya mengecupnya. Tuhan, Keenan tahu benar dirinya adalah pendosa besar, penghuni neraka yang tinggal menunggu hari penghakiman, tapi demi Tuhan pula, ia tak pernah sekalipun menorehkan noktah dosa-dosanya pada afeksi yang ia berikan pada Eisha, hanya saja seharusnya Keenan menyadari, bahwa Eisha terlalu murni untuk dilebur dalam gelimang dosa bersamanya.

"Keenan.."

Puan itu terbangun, sayu matanya yang mengerjap pelan menatap mata bulat suaminya yang menaruh atensi penuh padanya. Ain deragem sang puan perlahan menelisik satu persatu furnitur dan pigora kamar mansion mereka, pastilah perempuan itu belum sepenuhnya sadar, sebab Keenan menyuntikkan obat tidur padanya. "Aku mimpi buruk..." lirihnya pelan, matanya hendak memejam kembali namun masih mencoba mencengkram belakang piyama Keenan dengan tangan mungilnya.

"Mimpi apa?" sang tuan bertanya lembut.

"Aku mimpi kamu orang jahat, kamu punya banyak rahasia, dan kamu ngelukain orang lain.."

Lelaki itu terdiam, tak ada yang dapat ia berikan sebagai reaksi selama beberapa detik, labiumnya bungkam, nafasnya tertahan, hingga beberapa saat kemudian, mata Eisha sepenuhnya terpejam.

"Kalau aku memang orang yang seperti itu bahkan lebih keji, kamu pasti akan lari ya, Sha?"

Tok-tok

"Ini Denise, tuan,"

Keenan beranjak dari ranjang, mengusahakan seminimal mungkin langkahnya tak membangunkan nirmala yang tengah terlelap di ranjangnya, membuka dan menutup kembali pintu kamar dengan perlahan.

"Pria yang tuan cari sudah kami temukan,"

Kini ekor mata hitam lelaki itu julat memandang ruang tamu, dimana terduduk dengan terikat pula mulut yang dibekap lelaki tua yang sudah seperti ayahnya, nuraganya gamang namun ia tau apa yang ia inginkan. "Kosongkan mansion, kalian semua boleh pulang sekarang."

Seiring melengangnya mansion, menapak kaki hasainya menuruni tangga, berjalan menapaki memoir bertahun-tahun lalu, perlina pankromatis ingatan itu menjadi hitam putih dengan segala kemunafikan dan perbuatan tercela yang pernah bergelimang didalamnya. Beberapa anak tangga masih menyisa bersama jatuhnya air mata Keenan, bersirobok dengan mata kehijauan yang kian sayu seiring raib kewarasan figur terpaling khalis di antara pendosa-pendosa yang pernah hidup dalam mansion itu

"Mamaan (Paman).."

[]

Hari itu, malam tanpa bulan, bumantara tak tahu-menahu lenggana menyelirak gemintang sehingga anila pula tak ingin berembus untuk menghibur. Malam itu, baik manusia ataupun bulan sama-sama enggan bertandang dan menangis, menghendaki ruh itu datang sendiri dengan hina ke alam barzakh. Keenan saat itu berumur lima belas, terduduk di depan jenazah Ayahnya yang terlentang dengan mata membelalak dan mulut terbuka.

Malam itu, Keenan pun tak menangis, matanya panar menatap kematian yang mungkin telah dilaknat langsung oleh Tuhan. Ia ingat setidaknya saat itu, telepon rumah berdering sepuluh kali, namun tak sama sekali ia beranjak dari lantai lembab tempat ia duduk untuk mengangkatnya. Ia tak ingat betul apa yang terjadi malam itu, hanya saja ia tahu bahwa kedua tangannya terlampau jijik untuk mengangkat dan memandikan jasad Ayahnya, mungkin baiknya ia pun turut membusuk di depannya, sebab rasanya Keenan ingin juga memilih mati tak lama setelahnya dengan menusukkan pedang bermata dua miliknya.

Zamhareer.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang