Lentera berpendar kuning setidaknya mampu memberi beberapa diameter lantai yang berdebu tempat Keenan berdiri cahaya. Tak lama setelah visusnya terpaku pada bingkai foto bagal berselimut kain putih, hasta Keenan menyingkapnya, berdebur debu sejenak sebelum nampak foto sebuah keluarga, seorang Ayah dengan setelan tuxedo hitam dan ibu yang berbalut dupata beserta shalwar kameez hijau, keduanya memegang bahu kecil seorang anak lelaki dengan kemeja putih dan dasi pita, mereka mengurva senyum ke arah tustel yang mengabadikan mereka. Sejenak, pandangan Keenan kabur, sebab kelenjar air matanya tak sengaja terdiam sebentar di pelupuknya.
Teruna itu segera kembali pada kesadarannya, diangkatnya bingkai foto terakhir yang akan mengingatkannya pada dua figur telah membesarkannya, membawanya keluar dari tempat dimana ia menimbun semuanya. Kini semua kenangan terkutuk itu sudah berada di bukit belakang, dengan kedua tangan Keenan yang membawa minyak tanah dan korek api.
Kedua ain hitam itu senyap, tatapannya hampa sembari menyiram minyak tanah pada bingkai-bingkai foto dan setumpuk buku album keluarganya, sampai tak sengaja tumitnya tersandung salah-satunya, membuat foto-foto lama dengan kamera analog tak sengaja keluar dari albumnya, menampakkan pada dirinya foto pernikahan adat pakistan dengan Ammi dan Baba-nya yang tengah menggenggam tangan satu sama lain dengan cincin di jari manis mereka.
Sejemang Keenan menatap foto yang hampir pudar itu, hingga turut melumurinya dengan minyak tanah di tangannya. Kedua sudut labiumnya mengurva. "Kalau kalian memang ingin jadi penentang Tuhan setidaknya jangan libatkan aku, jangan lahirkan aku, pendosa."
Sementara bulan dengan separuh cahaya pemberian surya mulai penat akan tatapan Eisha padanya. Hari itu, hari ketiga semenjak ia bangun dan lelaki itu entah belum pulang atau memang belum memasuki kamar, namun jarum panjang sudah berada pada angka enam, yang berarti hanya butuh setengah jam lagi untuk mencapai tengah malam, rasa marah pada suaminya itu kini sedikit bergulir pada rasa cemas, apalagi ia tak dapat menghubunginya dengan segala keterbatasan akses yang ia miliki.
Puan berparas bak penghuni mahligai itu hanya bisa menatap bulan sambil memainkan cincin pernikahan di jari manisnya. Pun sembari menghela nafas, tak sengaja cincin itu lepas dan terjatuh, berotasi masuk ke kolong ranjang mereka. Oh, Eisha benci ini, ia sendirian di rumah yang sudah seram dan sekarang ia harus meraba kolong kasur, tapi tentu cincin itu lebih berharga dari skripsinya, ia harus mengambilnya sekalipun dengan kedua mata tertutup dan luka di bahu kanannya yang belum sembuh, lagipula ia tak akan meminta tolong pada Keenan mengingat puan itu masih marah dengan suaminya.
Pun dirogohnya kolong kasur 'menyeramkan' itu dengan hasta kanannya, alih-alih mendapatkan benda lingkaran berlumen, epidermis dara itu menyentuh benda padat seperti tumpukan kertas.
Salah, itu sebuah kitab.
Kitab dengan kertas kekuningan dan penuh dengan kaligrafi arab tanpa harokat yang tak dapat Eisha baca. Satu persatu sang puan mulai membuka halamannya, mendapati beberapa gambar dan yang tak dapat Eisha pahami, sampai ia berhenti pada halaman dengan sebuah foto 3x4 yang hampir luntur.
Ammi.
Tak ada yang salah dengan matanya, pun ia masih mengingat sosok wanita dengan iris merah yang ada di mimpinya. Ini jelas foto Ibu Keenan, cukup lama Eisha memandanginya, beberapa kali mengusap sudut foto itu dengan ibu jarinya, sampai ia mendengar derit pintu dari lantai bawah sehingga gegas puan itu menutup kitab dan mengembalikannya ke bawah kasur, merogoh cepat cincin pernikahannya lantas cekatan memasukkan foto ammi ke saku piyamanya. Selembar foto entitas yang tak pernah ia kenali dan hanya menyua di dalam mimpi namun ia sudah menaruh afeksi.
Keenan memasuki kamar ketika sang puan nampak sudah terlelap di bawah selimutnya, lagi-lagi dengan makanan buatan Denisa yang tak ia sentuh, baru Keenan akan membangunkannya, ia sadar tubuhnya masih berbau semerbak asap, pun laki-laki itu memutuskan untuk mandi lalu turun ke dapur membuatkannya telur gulung, ia tak tahu apakah Eisha akan memakannya atau menolaknya lagi, tapi istrinya itu sudah tak makan apapun kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zamhareer.
RomanceMeskipun tempat itu terlampau dingin dan bersalju, Zamharir tetaplah sebuah neraka, Keenan. + updating every saturday ©Bnauree, 2024.