[]
"Hafalanmu sudah sampai mana Keenan?"
Bahana halim dari balik torso juvenil yang baru menginjak usia lima membelai aurikula, "eh mamaaan~" bocah setinggi empat kaki yang awalnya meringkuk di sofa dengan quran kecilnya itu beringsut bangun danmenghambur ke pelukannya. "Lihat maman bawa apa~"
"Taraaat!"
"PEDAAANG!"
Juvenil itu, Keenan yang masih berumur lima tahun berteriak girang sebab tahu itu adalah pedang keren seperti yang kakek buyutnya selalu gunakan untuk berlatih bela diri, "eits!" baru si bocah tengil itu hendak meraih pedang yang lebih panjang dari badannya itu, si pemberi malah mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Ini bukan sekedar pedang! Ini...pedang..."
Lelaki yang gemar menggoda anak kecil itu mengeluarkan pedang itu dari sarungnya. "...ini pedang bermata dua!!"
Kedua bola mata Keenan membesar, hampir-hampir keluar dari kelopaknya saking girang.
"SEPERTI PUNYA ALI???"
"Iyaa!"
"AKU MAU AKU MAU!!!"
"Tapi ada syaratnya.."
Seketika kontinum lonjakan hasil hormon dopamin yang menggebu itu berhenti, berganti raut manyun dari sang juvenil, "apa lagi..." Keenan yang seketika menunduk itu kini separuh sidik menatap paman kesayangannya itu, harusnya ia tahu bapak-bapak jahil ini tidak akan memberikan apapun padanya secara cuma-cuma, sama seperti saat lelaki itu memberinya hadiah mainan kapal nabi Nuh setelah berpergian keluar negeri selama seminggu dengan ayahnya, Keenan harus rela selama seminggu selanjutnya belajar bahasa arab mati-matian untuk pada akhirnya diuji oleh pamannya dengan pertanyaannya, "mas-mu-ka?"
"Bacakan maman surat al-fajr,"
"IH!"
"Aku belum sampe situ maman!!" protes Keenan tak terima, ayolah! anak berumur lima tahun mana yang sudah hafal surat al-fajr (sebetulnya ada hanya saja Keenan tak mau terlalu terlihat payah). "Hmm.. kalau gitu pedang ini kita tunda deh sampai kamu hafal al-fajr," sang paman yang pura-pura memasang raut sedih itu. "IH KO GITU?!" masalahnya, anak ini baru saja menyelesaikan surat al-quraisy, meskipun ia ikut kelas mengaji tiap kamis dan jumat di masjid desa tapi surat al-fajr itu masih terlalu jauh!
"ya gimana loh.."
"mau sekaraaang!"
"ya ngga bisa harus hafal al-fajr dulu,"
"NGGAK MAUUU!"
Di senja yang menjelang malam itu, konversasi berakhir dengan rengekan dari si juvenil manja yang disusul oleh sang ibu yang memeluknya, memarahi sang biang kerok namun naas sang nahkoda rumah lebih membela sahabatnya. Sama seperti hari biasanya, mansion itu, rumah yang lebih hangat dari perapian, bising yang lebih merdu dari kicau kukila,
Tidak ada yang mengira,
Siang itu, siang yang bahkan baskara tak mampu menembus tebalnya dan dalamnya basemen lembab penuh dosa dengan afeksi yang telah hilang dan kewarasan yang hilang timbul, di pertemuan mereka setelah Keenan pamit meninggalkan Eisha sebentar di rumah sakit, pamannya ini telah terbangun dari tidurnya dan marah-marah. "Kamu kira sampai kapan Eisha akan diam, Keenan? Kamu kira sampai kapan Eisha akan bertahan? Mengurungku atau mengubur semuanya tidak akan mengubah apapun, kau tahu itu,"
Siang itu, tangannya memegang pedang bermata dua, pedang spesial yang ditempa oleh Paman Eliaz sendiri di Lahore, yang akhirnya berhasilkan Keenan dapatkan setelah dua bulan menghafal Al-Fajr, pedang bermata dua seperti milik idola Keenan—Ali Bin Abi Thalib, yang kini sepasang tajam mata pedangnya tengah mengarah pada Keenan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zamhareer.
RomanceMeskipun tempat itu terlampau dingin dan bersalju, Zamharir tetaplah sebuah neraka, Keenan. + updating every saturday ©Bnauree, 2024.