8. Noda

5 1 0
                                    

Kadang-kadang dalam hidup, ada noda yang tak bisa dihilangkan semenjak kita dilahirkan, bukanlah noda yang disebabkan oleh dosa-dosa kita, namun bukan pula noda yang jatuh begitu saja dari tinta yang tumpah karena ketidaksengajaan. Tidak ada yang sejernih telaga kautsar di bentala ini, baik itu kasih manusia atau tangis dari pertaubatannya, mereka akan selalu meninggalkan noda yang tak dapat dihapus dan menciptakan noktah-noktah merah pada ruh-ruh yang baru lahir.

Warna mawar merah dalam ain Keenan masih menjura pada Eisha yang terpejam, telunjuknya takzim mengembalikan anak rambutnya istrinya yang beravontur di paras tidurnya. Alarm berbunyi, bukan untuk membangunkan istrinya, daksa tegap itu cepat-cepat mematikan alarm ponselnya, bergegas menuruni tangga sebab sudah tepat sepuluh menit sejak ia merebus bubur untuk Eisha.

Mungkin sudah lebih dari separuh abad mansion bagal itu didirikan, menjadi mahligainya semasa kecil berukir sejarah dinasti umayyah hingga dinasti mughal pada dinding-dindingnya pula pagu yang dilukis dengan kemakmuran masa renaissance berhujan kilauan lampu gantung yang kini telah temaram.

Sup kaldu ayam itu sudah jadi. Keenan tersenyum seraya meletakkan kembali sendok setelah mencicipinya, segeralah ia tuang ke dalam mangkuk dan bergegas membawanya kembali ke kamar, namun sewalnya ia tak tega membuat kedua ain deragem itu bangun, memilih menatapnya selagi terpejam sebab mungkin bila puan itu terbangun pertikaian mereka akan berlanjut.

Pendar-pendar cahaya matahari dahayu menelisik diantara sela-sela bulu matanya, seiring pijar api dan senyum kirana dari wanita yang disebut Ammi itu memudar dalam bayangannya, puan itu kembali pada kesadarannya, memeluk kembali rasa remuk nan nyeri yang menyergap tubuhnya, kepalanya serasa berputar dan tak dapat dihentikan kala sebuah usapan di bahu membuatnya terkesiap. Di hadapannya, teraki senyum suaminya dengan semangkuk bubur yang masih mengkonveksi panas di tangan kanan.

"Aku buatin bubur untuk kamu,"

Monolog itu tak menemukan balasan, kedua bola mata yang sama-sama kalut itu saling bersirobok tanpa afeksi dari sang puan, sekujur tubuhnya yang hanya berbalut kemeja putih Keenan itu menimbulkan nyeri hebat yang mungkin tak hanya di luar, Eisha menarik selimut dari kakinya, melihat bagaimana perban sempurna membalut keduanya, juga tulisan kecil diatasnya.

"im sorry"

Keenan menyendok sesuap kecil bubur kaldu itu. "Makanlah," sejemang Eisha kalut dalam senyum hangat dengan mata bulat yang tengah menatapnya, tanpa sadar kembali memutar bunyi pelatuk di kepalanya. Eisha bungkam, membuat tangan yang menyodorkan sesendok bubur itu kembali meletakkannya ke dalam mangkuk. "Maaf..."

Lengang.

"Hanya itu?"

Entah tercium atau tidak oleh Eisha, namun indera pengecap Keenan masih bisa merasakan sisa aroma anyir dari darah yang baru ia reguk. "Aku mencintaimu, dan itu adalah keegoisanku,"

Ada begitu banyak litani yang setiap hari mengetuk langit, beberapa di antaranya adalah pedihnya penyesalan dan yang lainnya berisi harapan. Jikalau Keenan pernah berdoa, Eisha mungkin adalah penyesalan dan harapan yang namanya tak akan pernah mengetuk langit. Dan kini ia harus menerima konsekuensi, bahwa telah tertumpah noda dalam cinta yang Keenan torehkan pada Eisha.

"Aku tarun buburnya disini ya, Sha," hanyut Keenan dalam sanubarinya, niskala berparadoks sendirian tanpa pernah menemukan syatar terakhirnya, sehingga memilih ia beranjak meletakkan bubur hangat itu diatas meja di samping ranjang, mengusap pelan puncak kepala istrinya sebelum pergi menutup pintu kamar mereka dan menguncinya, sehingga tinggallah Eisha dan seluruh bekas kebiruan di sekujur tubuhnya.

Bola mata Keenan mengedar, menatap rumah tempat ia tumbuh, masihlah usang, namun temaramnya raib semenjak Eisha memantikkan amenitas didalamnya, masihlah penuh dosa, namun beberapa nodanya telah memudar semenjak Eisha memijakkan kakinya di penjuru rumah.

Zamhareer.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang