Sementara Zaven menenangkan Jasmine, Pamela juga membawa semua puteranya ke taman belakang mansion —dimana setiap pagi hari, beberapa pengawal melakukan olahraga di sana.
Kedatangan mereka cukup mengejutkan, namun Pamela memberikan perintah untuk melanjutkan kegiatan mereka tanpa menghiraukannya.
Reiga, Vincent dan Zayden berdiri menghadap Pamela. Sama persis ketika mereka masih kecil dan bertengkar, Pamela pasti akan menyidang mereka.
Pamela bersidekap dada, menatap wajah ketiga puteranya bergantian.
"Zayden, kamu yang menyuruh Jasmine bolos hari ini dan pergi bersama Marvin?" Tanya Pamela yang langsung di angguki sang empu.
"Iya mom, aku kasihan aja sama adek. Dia butuh main mom, sebentar aja kasih dia ruang bebas. Selama ini dia udah berusaha keras jadi anak penurut, jadi adik yang manis; dari berjuang nyembuhin trauma, belajar tanpa kenal lelah. Mom, bang, masalah kali ini gak kalah besar sama yang udah lalu. Aku cuma mau nyenengin adek, aku perhatiin adek seneng kok sama Marvin. Dia baik sama adek mom," ujar Zayden menjelaskan.
Begitu banyak huru hara yang menimpa gadis manis itu, apa salah kalau Zayden hanya ingin memberikan kesenangan pada Jasmine hari ini?
Meskipun Jasmine senang belajar, mengejar prestasi, tapi apa yang lain tidak mengerti kalau semua itu tetap saja kadang membuat Jasmine stres?
Main sebentar bukan dosa besar.
"Dulu, Zayyan juga gitu. Bahkan yang paling bahagiain adek ya Zayyan bukan Marvin," gumam Reiga, rahangnya kembali mengeras, kedua tangannya mengepal hingga urat - uratnya menonjol.
"Kamu takut kalau Marvin akan sama seperti Zayyan?" Tanya Pamela pada putera keduanya, ia menghentikan Zayden dengan tatapannya agar tidak menyela.
"Mom, udah cukup adek menderita selama ini jadi tolong, jaga adek lebih ketat lagi," jawab Reiga sangat frustasi, guratan khawatir tercetak jelas di wajahnya.
"Jadi maksud kamu, mommy dan daddy gak bisa jaga adek selama ini?" Tanya Pamela membalikkan pernyataan Reiga.
"Bukan gitu mom. Mom lihat sendiri, Zayyan yang keliatannya baik aja ternyata bajingan, gimana sama Marvin yang keras itu?! Udah jelas lah dia brengsek!"
Nada bicara Reiga mulai naik, ia bahkan tidak dapat mengontrol ekspresi wajahnya di hadapan sang Ibu.
"Bang, tahan emosi," ucap Vincent sambil menepuk punggung Reiga pelan tiga kali.
"Lo pikir semua orang brengsek kaya temen lo itu, bang?" Tanya Zayden tajam, ia tidak terima Marvin terus di katai.
Selama Zayden berteman dengan Marvin, sahabatnya itu memang kasar, emosian, tapi bukan yang suka mempermainkan perempuan atau pun mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Reiga menoleh, membalas tatapan tajam adiknya.
"Lo tadi ngatain adek gue bego karena gak tau Zayyan nusuk dia dari belakang? Lo salah bang, yang bego di sini itu lo. GIMANA BISA lo temenan sama bajingan kaya dia bertahun - tahun dan lo gak tau dia nyembunyiin adik yang lo cari LIMA BELAS TAHUN! LO YANG BEGO!"
"REI!"
Pamela dengan cepat memegang pergelangan tangan Reiga yang melayang —hampir menghajar adiknya sendiri.
"Cukup, nak. Jangan buat mommy sedih kaya gini," ucap Pamela bergetar, ia tidak sanggup melihat anak - anaknya bertengkar apalagi sampai menggunakan kekerasan.
Reiga dan Zayden pun merasa bersalah seketika, mereka membuat Pamela menangis pagi ini. Dengan pengertian, Vincent merangkul Ibunya.
"Kalian berdua tunggu di sini," tekan Vincent berniat masuk ke dalam mansion membawa Ibunya tapi Pamela menolak, "tidak, Vincent."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LANGUAGE
Teen Fiction[ SEASON II ] Setelah semua sakit, bukankah seharusnya terbit senyuman; seperti pelangi yang hadir sehabis hujan turun? Namun, hidup mu dalam kehidupan ini tidak berjalan dan tidak berhenti hanya karena kamu menginginkannya. Tuhan adalah pengendali...