6. Neophyte - Heartbreak is a loss

1K 192 72
                                    

...





"...datang ke rumahku, bawa surat cerainya dan terangkan apa hukuman yang lebih pantas untuk wanita kayak aku."

Tidak ada yang berubah dari air muka Azizi. Pria itu masih tetap tenang, menatap dengan tatapan tak berarti, dan tidak ada yang ia katakan selain mulutnya terbuka untuk menghisap batang rokok dalam-dalam, dalam sekali, sampai asap yang dikeluarkan dari mulutnya lebih mirip asap dari Kereta Api Tua.

Meski benci dan amarah kini berdesir di darah Marsha yang mulai mendidih, ada satu hal yang masih ia inginkan. Setidaknya, ketika Marsha sedang mundur menjauhi pria itu, Marsha hanya berharap ia ditahan, Marsha hanya berharap Azizi meraih tangannya—tapi, memang tak ada lagi yang bisa ia harapkan. Alih-alih dapat perlakuan itu, Azizi malah mengiyakan dengan mengangguk kecil dan seperti tidak ingin ia dan Marsha menghirup napas yang sama di ruangan ini. Seperti keberatan dengan keberadaan Marsha saat ini.

Marsha membuang napas panjangnya, sebelum membuka kunci pintu kamar dan keluar dari sana, berharap bahwa ketika ia keluar tak ada siapapun yang melihat dirinya dengan keadaan seperti ini—menangis dengan wajah memerah.

"Mama... kenapa?"

Sejujurnya Marsha tertegun ketika Miki ada di samping pintu. Miki berdiri, menengadah kepada Marsha. Entah sejak kapan Miki ada di sana...

Marsha menggeleng kecil, kemudian tersenyum. "Abang enggak main sama Adik?"

"Abang mau main sama Bapak. Bapak enggak pernah main lagi sama Abang dan Michie."

"Ah, Bapak sudah tidur tadi. Bapak sedikit enggak enak badan, jadi harus istirahat."

"Yah..." Miki mengerucutkan bibirnya. "Ya sudah, Mama main sama Abang dan adik, yuk?"

"Michael..." Marsha berlutut, agar tubuhnya dan Miki sejajar. "Ternyata Mama harus bekerja."

"Mama pergi?"

Marsha mengangguk.

"Tapi, ini hari minggu Mama. Orang dewasa tidak bekerja di hari minggu."

"Hum..." Wajah Marsha kelihatan sekali menyesalnya. "Tapi, ada beberapa orang dewasa yang bekerja juga di hari minggu. Dan, Mama juga."

"Miki mau ikut Mama kerja..." Miki merengek.

"Miki di sini aja, ya. Sama adik dan Bapak."

"Mama pulang nanti?"

Marsha terdiam.

"Ya. Nanti Mama pulang." Akhirnya Marsha menganggukkan kepala. "Miki baik-baik, ya?"

Sebelum benar-benar pergi, Marsha tak lupa menghampiri anak perempuannya untuk berpamitan, meski Michie kelihatan baik-baik saja ditinggal oleh Marsha.

Ah, sebenarnya mereka belum mengerti bahwa pamitnya Marsha, bukan sekadar pergi bekerja lalu kembali. Boleh jadi, ia akan datang lagi nanti, entah untuk mengambil kembali cincinnya atau mengembalikan dengan cara yang benar kepada pemilik aslinya.




...





Ada banyak hal yang Azizi Djatmiko lalui bersama Marsha selama sembilan tahun ini. Mungkin jika ini tentang mereka, mereka melalui kehidupan bersama hampir dua belas tahun lamanya. Tiga tahun berpura-pura tunangan dan sembilan tahun mengarungi kisah pernikahan.

Merayakan sembilan kali hari jadi, sembilan kali ulang tahunnya, sembilan kali ulang tahun Marsha. Empat kali ulang tahun Michael Reagan, dan tiga kali merayakan ulang tahun Michelle Raphsody.

Bukan waktu yang sebentar.

Marsha adalah keluarganya.

Itu adalah janji Azizi Djatmiko pada dirinya sendiri, di usianya ke sebelas tahun, sewaktu peti mati milik Hans Soenarjo ia tabur bunga dan Marsha—sendirian di sana.

Matcha Michie Miki (Future Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang