....
Orang pintar pernah berkata, bahwa guru terbaik dalam hidup adalah kehilangan. Dengan kehilangan, orang-orang akan belajar untuk tidak lagi menyia-nyiakan.
Maka dari itu, sebelum benar-benar kehilangan keluarganya, Marsha tak ingin menyiakan satu detik pun untuk bersama mereka.
Marsha pada sore itu berdiri sendirian di tengah orang-orang berlalu lalang. Pukul empat harusnya ia bertolak untuk pulang, tapi dering telepon dari Azizi menggema sebelum ia membuka pintu mobil—urusan anak-anak, katanya.
Ah, ternyata semua yang sedang ia rasakan saat ini, bukan hanya sekadar mimpi buruk semata. Ini nyata adanya.
Bagaimana mungkin mereka berdua—yang pernah ditakdirkan sebagai pemeran utama dalam kisah yang telah digariskan, yang kebetulan garisnya saling berkelindan, dalam takdir saling menggoreskan suka, dalam rasa sempat menjerang luka, dalam sikap pernah saling tidak dewasa.
Kini, kembali mengarungi hal yang sama, entah selamat lagi atau tidak. Marsha... enggan menerka.
Marsha hanya diam berdiri, entah dusta atau tidak, ia menanti. Harusnya pagi ini Marsha datang ke rumah mereka—tidak, rumah Azizi lebih tepatnya. Entah bagaimana, seusai rentetan kalimat menyakitkan yang dilontarkan, semua yang ada di depan Marsha menjadi asing, Azizi, anak-anaknya, keluarganya—mertuanya—bahkan semuanya seisi rumah terasa asing sekali, seperti tidak menginginkan Marsha ada, seperti tersirat menyuruh Marsha pergi karena ia tak pantas di sana, tak pantas sama sekali.
Harusnya pagi ini ia datang, tapi Marsha ragu, takut kedatangannya hanya jadi malapetaka, takut apa yang sedang mereka lakukan, bisa ia hancurkan. Ada insiden juga kemarin, ia jatuh dari tangga dan punggungnya betulan sakit, jadi Marsha tak banyak melakukan aktifitas selain memaksakan diri untuk pergi ke rumah sakit. Marsha juga tidak mengabari Azizi sedikitpun, toh, Azizi juga tak bertanya kenapa Marsha tak datang.
Komposisi yang ciamik, untuk mereka berdua yang berada di ujung pelik.
"Mama!"
Kini, tatapan Marsha terfokus pada dua bocah yang sekarang memeluk kakinya, memeluk dengan erat dan serasa tak mau dilepaskan. Sudah dua hari semenjak ia tak bertemu, rasanya... air mata ingin tumpah ruah sekarang juga, tapi, Marsha berusaha menahannya, meski dengan suara lirih ia balik menyapa dua buah hatinya, meski dengan bergetar ia usap puncak kepala mereka.
Rasanya, Marsha hidup kembali, setelah dua hari seperti kehilangan dirinya sendiri.
"Mama ayo kita pelgi!" Michie yang biasanya tidak ekspresif saja, kini terlihat bisa menyampaikan pesan rindunya.
"Mama ayo!" Timpal Miki kemudian.
Marsha mengangguk, meski ia tak tahu, ke mana yang mereka maksud.
Sementara kedua tangannya ditarik dua bocah itu, Marsha menoleh pada pria yang sedari tadi mematung, tak mengeluarkan suara. Seperti Azizi Djatmiko biasanya—seperti Azizi yang menatap orang asing, bukan istrinya.
Marsha balas menatap dengan lirih.
...
Mengenal Azizi Djatmiko sudah hampir seumur hidup Marsha, menurut yang ia dengar—bahkan, dahulu kala, ketika hari kelahirannya tiba, Azizi yang masih menjelma menjadi bayi kematian—ya, bayi-bayi seperti itu, umur tiga tahun yang sedang senang-senangnya menyentuh sesuatu, penasaran ini itu—datang digendong Mama untuk menjenguk Marsha yang baru ada beberapa jam lahir ke dunia. Kata orang tua, waktu itu dia belum bermetamorfosa menjadi kulkas pintu dua, belum jadi pendiam dan sibuk dengan dunianya. Dia bahkan berani menusuk pipi bulat Marsha oleh jari telunjuknya, sampai semua orang di ruangan penuh bau cairan disinfektan itu teriak-teriak histeris, ulah bungsu Djatmiko. Konon katanya, dulu ia punya lesung pipi karena ulah ditusuk jari mungil Azizi, tapi, sekarang sirna entah ke mana. Omong kosong untuk dapat tawa yang lebih lagi, Marsha tahu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Michie Miki (Future Story)
Fanfic"The sky is pretty, isn't it?" ... "Usia lo menginjak kepala tiga, tahun ini. Udah dapat apa aja selama bernapas 30 tahun dalam perjalanan hidup?" Azizi Djatmiko menyunggingkan senyumnya. "3M." "Cuma tiga milyar?" "Tapi, ini bukan tentang uang." Ber...