Petaka

106 18 0
                                    



Bukan Jendra namanya kalau nggak iseng sama klien laki - laki yang kini tersenyum kepadaku dan meminta untuk dibutkan surat perceraian bersama istrinya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Aku tidak mengerti  bagaimana bisa seorang istri dapat berselingkuh dengan sahabat suaminya sendiri, maka dari itu aku selalu agak sedikit trauma dengan hubungan yang berkomitmen untuk selamanya.
Sama halnya dengan jalinan hubungan yang sudah dijalani selama enam bulan ini bersama Jendra, karena ia akan mengakhiri masa magangnya bersamaku esok hari, namun entah kenapa rasanya berat untuk melepaskan dia yang kini sudah terlalu dalam masuk ke dalam hidupku.

"Jendra, tolong buatkan Pak Dema teh hangat sepertinya ini akan menjadi hari yang panjang bagi kami berdua." Aku memberi perintah padanya agar ia dapat membedakan antara pekerjaan dengan hubungan kami selama berada di kantor, toh tidak ada yang mengetahuinya kercuali Janice. Ngomong - ngomong soal Janice, aku benar - benar merindukan kehadiran dan kegilaannya disini, meskipun ia membantu ayahnya untuk menutupi kejahatan yang pernah dilakukan, bagiku Janice tetaplah gadis yang pemberani.

Jendra masih berdiri disampingku sambil sesekali memperhatikan klienku yang memang menatapku dengan tatapan tidak nyaman namun tetap saja aku harus bersikap profesional.

"Jendra," panggilku agak lantang karena sejak tadi ia tidak beranjak dari sofa.

"Ya, kenapa bu?" Baru kali ini aku mendengar ia memanggil ibu padaku.

"Barusan kan saya sudah bilang, tolong ambilkan air hangat untuk klien kita karena sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang."

"Ohhh tidak apa - apa kok Mbak Daniar, saya masih bisa menahan haus karena dapat melihat Mbak Daniar sedekat ini," tiba - tiba Pak Dema membuka suara dan kami berdua menoleh ke arah beliau, aku bahkan sempat bertanya, maksudnya gimana, Pak?"

Belum sempat Pak Dema membuka suara, Jendra sudah terlebih berkata, "Pak, percuma jika anda ingin menggoda Bu Daniar, beliau sudah memiliki kekasih," ucapannya yang asal - asalan membuatku melotot, memang benar kami menjalin sebuah hubungan tetapi bukan berarti ia bisa seenaknya memberitahu statusku kepada orang lain.

Pak Dema langsung membuat tatapan yang canggung, "benar, mbak?"

Mau tidak mau aku mengangguk karena sudah pasti Jendra akan ngamuk jika aku menggelengkan kepala dan bilang itu semua tidak benar.

***

"Kamu tuh selalu malu ya memberitahu kepada orang lain kalau kita ini punya hubungan?" Jendra dengan emosinya yang belum stabil langsung main masuk ke dalam ruanganku saat {ak Dema sudah pergi meninggalkan ruangan.

Aku menutup tirai agar orang lain tidak bisa melihat ke dalam lalu aku menyilangkan kedua tangan di depan dada, "aku bukannya malu, Jendra. Tapi waktunya aja yang nggak tepat untuk kasih tahu orang kantor kalau kita ini pacaran, apa kata orang?"

Dia menatapku tidak percaya sambil tertawa sarkas, "apa kata orang kamu bilang? Dan, segitu hinanya aku di depan kamu? Iya?"

Aku mendekati dan duduk disampingnya ketika ia bersandar pada sofa, "Jendra, kamu tahu, bukan itu maksud aku—

"Karena aku umurnya jauh lebih muda dari kamu, kan?" potongnya.

Matanya terpejam seolah dikelilingi kelelahan yang tidak berkesudahan, lantas aku mengambil tangannya yang menganggur di atas paha lalu secara perlahan memberikannya pengertian, "sebentar lagi kamu lulus, aku cuma nggak mau hubungan kita diketahui oleh pihak kampus karena itu juga selain merusak nama baik kamu, aku juga akan terkena imbasnya karena aku sudah memberikan nilai yang layak untuk kamu. Padahal memang kinerja kamu sebagai anak magang pun cemerlang meski awalnya kacau, aku minta tolong banget sama kamu kasih kita waktu, ya."

Ia membuka matanya secara perlahan lalu memandangi wajahku dengan intens, "aku beruntung banget ya bisa lihat pacar secantik ini tiap hari di kantor," ujarnya tiba - tiba sambil tersenyum dan membuat pipiku panas, kemudian ia kembali melanjutkan, "iya, ngerti. Jadi mau sampai kapan kita backstreet, aku paling nggak bisa sembunyi - sembunyi."

Aku mengusap pipinya dengan lembut, "secepatnya, ya."

Jendra tersenyum dan tanpa aba - aba ia menciumku dengan lembut, menggigit bibir bawahku agar dapat memberikan akses untuknya. Kedua lenganku otomatis mengalungi lehernya dan menekan kepalanya agar ciumannya tidak lepas. Setelah beberapa saat ia melepaskan ciumannya lalu menyatukan kening kami berdua, "aku beneran sayang sama kamu."

Untuk pertama kalinya seperti ada kupu - kupu yang beterbangan di perutku, aku bahagia mendengar kalimat itu keluar dari bibirnya Jendra dan aku membalas, "aku juga sayang kamu, Jendra."

***

lanjut ke karyakarsa dan lebih jleb :(

https://karyakarsa.com/Josephine/eyes-on-you-738548

Eyes On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang