LDR

117 18 0
                                    

DISTANCE MEANS NOTHING WHEN SOMEONE MEANS EVERYTHING

Hari ini setelah satu bulan kelulusan gue sebagai anak hukum, gue langsung berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan S2 di UGM, sekolah impian anak - anak hukum setelah UI dan juga UNPAD. Setelah mencari kost selama dua minggu akhirnya Daniar menemukan lokasi yang nyaman dan juga strategis. Di dalam perjalanan menuju Bandara baik gue maupun Daniar tidak ada percakapan yang berarti, kami berdua sibuk dengan pikiran masing - masing, gue dengan pikiran bagaimana menlanjutkan hubungan kedepannya dengan Daniar sedangkan gue tidak tahu dia sedang memikirkan apa sampai tangannya menyentuh punggung tangan gue yang bebas di atas jok mobil dan gue menoleh sedangkan dia hanya tersenyum lalu berkata, "kamu harus sukses disana, belajar yang benar. Aku nggak mau kamu terhambat lulusnya hanya karena hubungan kita," ucapnya.

Gue hanya bisa menghela napas sambil tersenyum tipis, gue tahu bahwa Daniar ingin hal yang terbaik untuk kami berdua dan tampaknya gue masih belum bisa berpisah jauh darinya disaat dia sudah siap dengan segala konsekuensi yang ada.

"Aku nggak akan bisa bantah kamu lagi, aku nurut aja. Kamu maunya gimana," balas gue pasrah.

"Gimana aku tapi mukanya cemberut tuh aneh nggak sih?" gue tahu dia bercanda soalnya kelihatan giginya yang putih sedang tersenyum lebar.

"Justru itu, kalau kangen gimana?"

"Ya Tuhan, Jendra, kan kita hidup bukan di jamannya kaya buku Jane Austin ya, kita bisa telepon, zoom atau video call, udah canggih sayaaang," ia berkata dengan nada gemas.

"Iya deh iya."

Tiba di Yogyakarta International Airport tanpa siapa pun yang menemani itu buat gue seperti kesepian setelah sekian lama karena gue benar - benar sendirian di kota orang dan tidak tahu apa - apa, sedangkan Tito menghilang setelah memberitahu akan melanjutkan studinya ke Australia. Begitu masuk ke dalam taksi dan menuju kost yang dipilih oleh Daniar, gue merasa malu sebenarnya karena enam bulan pertama tempat tinggal gue semua dibayarin oleh Daniar dan gue nggak bisa berbuat apa - apa. Maka dari itu gue harus berkonsentrasi belajar demi membuat dia bahagia.

"Mas, pendatang dari mana?" tanya pak supir.

"Saya dari Jakarta, Pak. Mau lanjutin S2 di UGM."

"Waduh, bocah pintar ini. Mandiri atau beasiswa?" tanyanya lagi.

"Alhamdulillah kebetulan beasiswa, pak."

"Lhoo, sama dong dengan anak saya, cuma dia tuh udah masuk tahun lalu. berarti dia senior kamu, ya?"

Gue cuma bisa membalasnya dengan senyuman karena tidak tahu dan bahkan gue nggak mau tahu tentang orang - orang yang ada di sekeliling gue kecualo fokus sama apa yang mesti gue capai.

Dan gue hanya bisa menjawab tidak tahu pada akhirnya.

Taksi yang gue tumpangi berhenti di depan sebuah kawasan yang cukup elit dan agak jauh dari kampus dengan gerbang berwarna hitam dan tinggi sekitar dua meter lebih membuat gue merasa tempat tinggal ini terlalu mewah untuk gue tinggali.

"Waaah, masnya wong sugih ini," ucap pak supir saat menurunkan koper gue dari bagasi.

"Maksudnya gimana, pak?"

"Iya, orang yang kost disini tuh semuanya orang - orang kaya mas, nah makanya saya bilang begitu, kalau begitu saya pamit mas, monggo."

Gue cuma mengangguk dan taksi tersebut pun menghilang dari pandagan.

Saat gue menggeret koper menuju gerbang, seorang sekuriti bertanya apakah gue penghuni salah satu kost disini dan gue menjawab iya, lalu dia meminta kartu tanda pengenal dan gue menunjukannya.

"Silahkan masuk, mas. Mas sudah terdagtar di kost ini," ucapnya.

Setelah mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam rumah dengan luas kurang lebih 600 meter persegi dan dengan jumlah kama hampir dua puluh dengan fasilitas lengkap membuat gue sadar mengapa harga kost ini begitu mahal, lalu gue diarahkan ke kamar paling ujung karena itulah kamar yang tersisa saat pembayaran di muka.

Jendra : Akhirnya aku sampai, kamu lagi apa?

Tidak ada balasan dari Daniar, mungkin juga dia sedang bersama Janice karena Mbak Janice baru saja keluar dari penjara dan gue nggak mau mengganggu mereka.

Gue membereskan barang - barang sampai semuanya terlihat bersih salama hampir dua jam, lalu merebahkan tubuh dan memejamkan mata, besok adalah hari pertama gue masuk kelas. Gue mendengar suara ketukan pintu dari luar dan bergegas bangkit untuk membukanya yang ternyata seorang wanita yang mungkin seumuran gue sedang memegang sebuah tempat makan di tangannya.

Kening gue berkerut, "siapa, ya? dan ada apa?" gue berpikir kost - kostan yang gue tinggalin itu untuk cowok semua namun ternyata kost ini adalah kost campuran.

"Maaf mas, lo anak baru disini, ya?"

Gue mengangguk.

"Ini ada makanan yang kita - kita masak kalau ada anak kost yang baru datang," gue celingukan melihat kiri dan kanan tapi nggak ada seorang pun yang nongol kecuali dia.
"Tapi mbak—
"Udah terima aja," dia memberikan tempat makan tersebut secara paksa lalu berbalik dan masuk ke dalam kamarnya yang hanya berbeda dua kamar dari kamar yang gue tempati sekarang.

Gue membuka tempat makan yang diberikan dan berisi nasi gudeg beserta pelengkapnya, ini beneran mereka yang masak? Lantas gue mengambil ponsel lalu mengirimkan foto makanan tersebut kepada Daniar.

Bahkan hingga pukul sembilan malam begitu gue selesai melihat apa saja yang harus dipersiapkan, Daniar tetap tidak ada kabar. Bukan karena gue nggak percaya dia, tapi karena gue takut hal yang sama terjadi seperti waktu tu. Gue menghubungi Janice pun tidak ada jawaban sampai akhirnya lima belas menit gue mencoba menelepon Daniar, ternyata Janice lah yang mengangkat ponsel Daniar dan ia langsung menjawab.

"Jendra, sorry," suara terdengar memelas diujung sana.

"Kenapa mbak, ada apa?" tanya gue panik.

"Daniar mabok berat."

"Hah, kok bisa?"

"Tadi ketemu sama klien kantor dan diajak ke klub, awalnya Daniar sama gue nggak mau, tapi mereka maksa dan akhirnya dia tumbang untungnya gue masih waras, nanti gue hubungin lo lagi."

Belum ada jawaban, sambungan telepon sudah terputus.

***

Lanjut karyakarsa.

https://karyakarsa.com/Josephine/eyes-on-you-742372

Eyes On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang