Tak sengaja

128 23 2
                                    

Gue berjalan - jalan sendirian setelah pulang dalam keadaan sudut bibir terluka akibat bertengkar dengan laki - laki brengsek yang hampur saja mengulangi perlakuannya terhadap Daniar, untung saja bertindak lebih cepat dan akhirnya dapat membungkam Bima sampai ia pergi meninggalkan kami. Daniar menawarkan gue untuk diantar pulang namun gue menolaknya karena gue punya harga diri untuk tidak terlena dengan tawarannya.

Jakarta di sore hari ini langitnya mendung tidak seperti biasanya padahal menurut BMKG hari ini seharusnya cerah dan berawan, mobil dan motor tidak terlalu banyak yang melewati kawasan ini karena mungkin orang - orang sedang istirahat di rumah karena besok baru mulai kembali beraktivitas. Gue duduk di bangku kosong dekat taman di sebelah gedung perkantoran dengan banyak pepohonan, mengistirahatkan kaki yang mulai pegal akibat berjalan kaki hampir empat kilometer, lantas gue mengeluarkan ponsel dan memeriksa notifikasi ponsel.

Tito       : Nongkrong yuk, kita udah lama nggak ngobrol setelah Desta nggak ada.

Hardin : Ayo sih, gila jadi anak magang terus aja di bully

Jendra : Dimana? Gue jalan kaki anjir, dompet gue ketinggalan

Hardin : wkwkwk, anjir kok tumben

Jendra : Panjang ceritanya.

Tito       : Bandung PP yuk, pakai mobil gue. Gue yang traktir, mood nya lagi diatas awan soalnya.

Jendra : Anjir, beneran nih?

Hardin : Nggak prank?

Tito       : Serius sat! Jen, gue jemput loh shareloc, nanti Hardin juga dijemput

Jendra : Anjay, boleh gas

Kami bertiga benar - benar sudah tidak waras sepertinya, orang gila mana yang tiba - tiba jemput langsung berangkat ke Bandung, lalu di dalam perjalanan gue mulai bercerita tentang Bima Wijaya yang pernah melakukan hal yang tidak senonoh kepada Daniar. Tito yang serius sedang mengambil kemudi pun berkomentar, "gue tahu nih si Bima bima ini," ujarnya. Gue menoleh, "lo tau dia darimana?" Hardin dan juga Tito malah menertawakan gue yang benar - benar bingung.

"Malah pada ketawa, gue nanya serius beneran."

"Lo hidup dimana sih, Jen. Bima Wijaya itu tuh perusahaan dimana lo beli alat - alat naik gunung, lo hobi naik gunung masa nggak tau ownernya," cibir Hardin sambil tertawa.

"Maksud lo, Neiger tuh punyanya si Bima?" tanya gue tidak percaya.

Tito menggeleng, "bukan punya Bima as personal, lebih ke keluarganya. Desta juga kayanya kenal deh," celetuk Tito.

"Yang kalangan atas kan kalian, gue sama Hardin mah apa atuh."

Hardin langsung menyela, "enak aja, jangan samain gue sama lo, Jen," ucapnya sambil bercanda lalu ia kembali berkelakar, "gue juga kalangan atas... atas meha," kami bertiga terbahak.

Begitu sampai Bandung, kami bertiga berjalan - jalan ke daerah yang paling ikonik dan selalu ramai yaitu jalan Braga, dimana banyak tempat kuliner yang selalu dikunjungi oleh orang dari luar kota.

"Udah lama banget gue nggak ke Bandung, kenapa makin macet, ya.." ucap gue sambil melihat sekeliling dan dipenuhi oleh kendaraan bermotor khususnya roda dua.

"Sama, gue juga baru sekarang kesini lagi, tapi motornya banyak bener, sebelas dua belas lah sama Jakarta, cuma beda di cuaca doang."

Lantas Tito merkirkan mobilnya tepat di sebuah restoran tempo dulu dengan nuansa seperti sedang berada di Belanda, "Braga Permai" restoran yang konon katanya selalu didatangi oleh orang - orang kaya jaman Belanda.

Eyes On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang