Ch. 6: Guilty as charged

780 122 34
                                    

Kaget nggak aku update lagi hari ini? Hehe... masih ada kejutan lain di chapter ini, guys. Selamat membacaaaa :'>

*


Mungkin apa yang Ajeng katakan ada benarnya. Semalam dia sudah keterlaluan. Semalam mungkin dia masih mampu mengelak dan tidak ingin mengaku karena emosinya sedang tidak stabil setelah teringat bagaimana beratnya hari-hari yang dia lalui setelah kepergian Dahayu. Namun, setelah pikirannya kini lebih jernih, barulah Joshua sadar dia sudah melewati batas.

"Goblok," gumamnya sambil membenturkan kepalanya ke dinding.

Joshua tahu dia menghabiskan waktu di kamar mandi lebih lama dari perkiraannya. Masih dengan pikiran yang dipenuhi oleh raut sedih Dahayu, setelah menyelesaikan kegiatan mandinya dan berganti pakaian yang kasual tapi juga terlihat rapi, Joshua kembali turun ke lantai bawah. Para keponakannya sedang asyik bermain di ruang tengah. Ali dan Arash sesekali ikut mewarnai dengan Reihan dan Kaihan sementara Attar duduk agak memisah dari adik-adiknya. Pandangannya hanya tertuju pada papan catur. Di hadapannya, Alex menemani anak berumur lima tahun itu, mengajari beberapa trik yang dia ketahui. Mamanya duduk di belakang Arash, memperhatikan gerak-gerik cucunya yang paling kecil.

Absennya Anye dan Aksa dari ruang tengah membawa kaki Joshua berjalan menuju dapur. Anye sedang sibuk di depan kompor sedangkan Aksa sedang menuang puding yang baru saja matang ke dalam cetakan puding berbentuk dinosaurus.

"Sibuk banget," komentar Joshua. Pandangannya sudah menyisir lauk-lauk yang tersedia di atas meja. Semur daging kesukaannya sudah berada di tengah meja. "Attar lagi rewel banget, ya?"

"Baru sembuh dari batuk, pilek, dan demam beberapa hari yang lalu ditambah sudah lama nggak ketemu kamu makanya manjanya nggak ketolong," sahut Anye, berjalan menuju meja makan dengan membawa cetakan puding besar. Dia menata biskuit di bagian paling bawah sebelum menyiramnya dengan cairan puding yang masih panas. "Kerjaanmu di kantor gimana? Ada masalah?"

"Nggak ada." Joshua mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Kakak sehat, kan? Mukanya kelihatan agak pucat. Duduk aja dulu, Kak... pasti capek ngurus anak tiga. Apalagi semua lagi pada aktif-aktifnya."

"Capek karena Attar sempat sakit terus adik-adiknya maunya main sama abang mereka terus. Aku sampai kehabisan alasan buat bujuk mereka supaya nggak dekat-dekat Attar karena takut ketularan. Kalau sampai tiga-tiganya sakit, aku nggak bisa urus mereka sendirian. Semuanya pasti rewel."

"Bang Alex pasti bantu. Nggak mungkin dia biarin Kakak urus anak-anak sendirian."

"Justru karena aku tahu dia pasti bantu makanya sebisa mungkin aku urus anak-anak dengan baik di rumah. Kerjaannya di kantor juga lagi banyak-banyaknya, Dek. Walaupun sudah jarang lembur separah waktu belum berkeluarga, Alex nyaris setiap hari bawa pekerjaannya pulang. Aku maunya dia kerja dengan nyaman aja di rumah tanpa perlu takut aku kerepotan urus anak-anak sendirian—walaupun sebenernya agak mustahil selalu kerja tanpa gangguan karena anak-anak pasti minta playing time dulu dengan Papanya sebelum tidur."

Senyum yang tersungging di wajah Anye menular. Tanpa Joshua sadari, dia juga sudah ikut tersenyum ketika mendengar suara teriakan dan obrolan anak-anak dari ruang tengah. "Urus anak susah banget ya, Kak?"

"Susah. Urus dua aja susah. Apalagi tiga," celetuk Aksa.

"Susah karena sebagai orang tua, aku dan Alex nggak mau gagal mendidik dan membesarkan anak-anak. Setelah menjadi orang tua, ada banyak hal yang harus kami korbankan demi anak-anak. Aku yang harus resign begitu hamil Ali karena aku mau punya lebih banyak waktu dengan anak-anak. Alex yang selalu pulang cepat dan bawa semua pekerjaannya ke rumah—main dengan anak-anak sebelum mereka tidur supaya mereka nggak merasa diabaikan sama Papanya. Sebelumnya, aku nggak tahu kalau jadi orang tua itu ternyata sesulit itu. Setelah dijalani, ternyata selalu ada hal baru yang aku dan Alex pelajari setiap harinya sebagai orang tua," ucap Anye. "Terlepas dari anak-anak yang mulai aktif, tumbuh kembangnya harus terus dipantau, dan dinamika lain yang berhubungan dengan anak-anak, kami juga nggak mau perhatian kami seluruhnya cuma tertuju ke anak-anak sampai lupa kalau kami pun butuh memperhatikan satu sama lain dan punya waktu berdua sebagai pasangan."

Heart of HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang