The hardest battle isn't always faced in a chaotic war,
it is the battle inside you. It has always been.
Sejak pembicaraannya dengan Harsa di akhir minggu itu, kegelisahan terus mengusik Dahayu. Dia sudah memikirkan berbagai kemungkinan terburuk seandainya Raka berhasil menemuinya dan Aruna di Jakarta. Bagaimana jika Raka tiba-tiba meminta untuk dikenalkan dengan Aruna? Atau yang lebih parah, bagaimana jika Raka menginginkan hak asuh Aruna jatuh ke tangannya?
Dahayu tidak bisa hidup tanpa Aruna. Dia juga tidak bisa melindungi Aruna seandainya Aruna sepenuhnya tinggal bersama Raka. Bagaimana jika Raka sengaja ingin menciptakan jarak antara mereka dan membawa Aruna ke Amerika? Oh, Tuhan. Kepala Dahayu sepertinya sebentar lagi akan pecah memikirkan segala kemungkinan itu.
"Morning."
Dahayu terlonjak kaget. Kopi panas yang sedang dia buat di pantry mengenai punggung tangannya. Sebelum dia bereaksi untuk menghilangkan panas di tangannya, sepasang tangan yang menyentuh pundaknya membimbingnya bergeser menuju wastafel.
"Kenapa sampai sekaget itu sih, Yu?" tanya Joshua seraya menyalakan keran air dan membersihkan tangan Dahayu dengan air yang mengalir. Seketika menghilangkan rasa panas di punggung tangannya. "Kamu lagi bengong? Mikirin apa?"
Ini apa?
Dahayu mengerjapkan matanya ketika melihat gerak-gerik Joshua. Ekspresi dingin yang biasa hadir di wajah laki-laki itu setiap berpapasan dengannya telah sepenuhnya menghilang. Selama beberapa minggu ini, Joshua tidak pernah ragu untuk mengurungkan niat ke pantry setiap melihat Dahayu sedang membuat kopi atau menyantap sarapan. Joshua melakukan berbagai cara untuk menghindar.
"Kebiasaan kamu nggak berubah, ya, dari dulu?" tanya Joshua seraya mengambil tisu di meja dan mengeringkan tangan Dahayu. "Kalau lagi banyak pikiran selalu bengong. Nggak peduli dengan sekitar."
Berbagai tanya memenuhi benak ketika Dahayu menarik tangannya dari genggaman Joshua. Bukannya minggu lalu Joshua mengatakan bahwa dia tidak bisa lagi menerima Dahayu sebagai temannya? Bahwa hubungan mereka tidak akan lagi bisa kembali seperti dulu kala? Lalu, sekarang ini apa? Apa yang sedang terjadi?
"Kamu mau bikin kopi, kan?" tanya Dahayu. Dia mengambil beberapa langkah mundur untuk menciptakan jarak antara dirinya dengan Joshua. "Aku sudah selesai bikin kopinya. Kamu bisa—maksudku, aku bisa pergi dari pantry biar kamu bisa lebih nyaman ada di sini dan—"
Joshua menggeleng pelan. Dia mengusap wajahnya kemudian menunjukkan ekspresi tersiksa. Bukannya seharusnya Dahayu yang berekspresi seperti itu?
"Dayu..."
Panggilan itu berhasil membuat Dahayu kehilangan suaranya.
Dayu.
Dayu, bukan Dahayu.
"Gimana caranya supaya aku bisa memperbaiki semuanya? Minggu lalu... malam itu... aku terlalu kasar. Aku nggak bermaksud bikin kamu sakit hati. Aku akui sejak kita ketemu lagi, aku terlalu emosi, terbawa perasaan, dan kurang dewasa menyikapi keadaan. Semua yang ada di antara kita ini—" Joshua menunjuk dirinya dan Dahayu. "—aku masih kesulitan untuk menyikapi semua ini. Aku minta maaf atas sikapku ke kamu beberapa minggu ini. There is no excuse. Aku mau memperbaiki semuanya kalau kamu mau kasih aku kesempatan."
"Aku..." Dahayu menunduk dalam, tidak kuasa untuk menatap kedua mata Joshua yang menggambarkan seberapa besar rasa bersalahnya. Dia sudah menerima keputusan laki-laki itu minggu lalu. Dia sudah berdamai dengan kenyataan bahwa dia telah sepenuhnya kehilangan Joshua—tidak hanya sebagai cinta pertamanya tetapi juga sebagai sahabatnya. Dia sudah meyakinkan dirinya bahwa semua itu adalah keputusan terbaik. Dengan begitu, Joshua tidak perlu masuk ke dalam kekacauan hidupnya. Tapi, kenapa Joshua berubah pikiran? Apa yang harus dia lakukan sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart of Hearts
Roman d'amourJoshua tahu masa lalu telah menciptakan jarak di antara hubungannya dan Dahayu yang semula sedekat nadi. Hanya kecewa yang masih membekas, amarah yang tersimpan menunggu untuk diluapkan, dan ribuan pertanyaan menggantung yang tersisa di antara merek...