Ch. 2: Prejudice

927 153 9
                                    

"Jojooooo!" Joshua mendengus begitu mendengar suara melengking yang memanggil namanya setelah lima menit dia memutari setiap sudut jazz bar untuk menemukan perempuan yang dia cari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jojooooo!" Joshua mendengus begitu mendengar suara melengking yang memanggil namanya setelah lima menit dia memutari setiap sudut jazz bar untuk menemukan perempuan yang dia cari. Ketika dia menempati tempat kosong di samping perempuan itu, suara nyanyian dari live band yang semula berhenti sesaat untuk beristirahat, kembali terdengar. "Kenapa lama banget? Jalanan macet? Aku sudah nunggu kamu dari tadi..."

Suara Ajeng—yang mulai meracau panjang lebar karena dia telat datang—bagaikan lewat sesaat di telinganya. Pandangannya justru tertuju pada satu gelas yang sudah kosong dan satu gelas lain yang isinya masih tersisa setengah. Menyadari dirinya kembali terjebak di situasi yang selalu ingin dia hindari, Joshua hanya bisa mengembuskan napas.

"... katanya tadi cuma butuh sepuluh menit? Ini sudah jam—" Ajeng mengangkat tangan kanannya terlampau tinggi hingga dia harus mendongak untuk melihat jam tangannya. "—jam setengah sembilan, Jojooo... sejam perjalanan dari kantor ke tempat ini? Dari Sudirman ke Senayan kan, nggak begitu jauh."

"Kamu lupa ini hari apa? Masih hari Rabu, Jeng. Jalanan pasti selalu macet after office hour," ujar Joshua sambil meletakkan gelas yang ingin diraih Ajeng ke posisi yang agak jauh hingga sulit untuk dijangkau. "Ini hari Rabu. Besok kamu masih harus kerja dan sekarang kamu malah mabuk-mabukan. Sendirian pula. Bahaya, Jeng. Sudah berapa kali aku bilang buat jangan pernah minum sendirian sampai mabuk di luar?"

Kali ini, pergerakan Ajeng lebih cepat. Joshua menghela napas panjang ketika gelas kedua berisi vodka kembali tandas. Tidak bersisa. Gelas itu kembali bergabung bersama gelas lain yang sudah tergeletak di atas meja. Ajeng mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangan kemudian duduk bersandar dengan lesu.

"Aku capek. Semuanya berantakan," keluh Ajeng sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

Joshua pikir, kali ini—sama seperti malam-malam sebelumnya ketika Ajeng tiba-tiba menghubunginya untuk dijemput di jazz bar ini—dia akan mendengar Ajeng menangis hebat. Namun, yang terdengar hanyalah geraman pelan sebelum mantan kekasihnya itu beranjak. Mata yang selalu tajam tertuju pada setiap orang kini terlihat sayu. Wajahnya juga sudah memerah karena terlalu banyak minum. Joshua sampai harus ikut berdiri untuk menahan perempuan itu agar tidak terjatuh karena cara berdirinya sudah sempoyongan.

Ajeng sepertinya mulai mabuk.

Dan tugas Joshua malam ini adalah mengantarnya pulang dengan selamat sampai ke apartemennya—seperti yang biasa dia lakukan.

"Antar aku pulang, ya?" pinta Ajeng ketika sudah berada dalam rangkulan Joshua.

"Emang itu kan, tujuan kamu hubungi aku? Supaya ada yang antar kamu pulang dengan utuh tanpa ada yang lecet sedikit pun," cibir Joshua. Dia menyelesaikan pembayaran, dengan Ajeng yang memeluk lengannya kuat. Sesungguhnya, Joshua merasa ruang geraknya terbatas. Belum lagi dia harus menenteng tas kerja Ajeng yang sangat berat tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah.

Heart of HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang