09 -- Retakan.

2 2 0
                                    

SRING!

"AHH!" Kazumi terjatuh, tangannya mengais-ngais jalaran simbol ular di lehernya. Pupil matanya bergetar karena teror, air mata menggenang.

"Huh–?" Vinn berkedip, matanya menatap sosok Kazumi kaget. Dia langsung membatalkan sihirnya. Dirinya berjongkok di depan Kazumi, tangan bergerak-gerak di sekeliling gadis itu. Tak yakin apa yang harus dilakukan.

"Sialan," gerutu Rei. Dia dan Akari segera menghampiri kedua remaja itu. "Apa yang kau lakukan?! Cepat bawa dia ke ruang medis!"

Vinn dengan cepat menggendong Kazumi dengan gaya tuan putri, sekali lagi berkedip bingung melihat retakan hitam yang mengintip dari kerah kemeja Kazumi. Menghiraukannya, dia segera menuju ruang medis. Rei mengikuti di belakang sementara Akari meminta seseorang memanggil Qiao. Setelah memastikan orang itu akan memanggilnya dia menyusul yang lain.

"Apa lagi yang kau lakukan padanya huh?!" Rei berteriak, berlari untuk mengimbangi langkah Vinn.

"Aku tidak melakukan apapun! Hanya trik kabut biasa! Tidak ada yang membahayakan, sumpah!"

"Oh ya?! Lalu kenapa dia seperti itu?!" Akari balas bertanya, marah bercampur frustasi terlihat di wajahnya.

"Aku tidak tahu! Aku hanya– ah, sial, mungkinkah karena itu?"

"KARENA APA?!"

"Sebelum dia seperti ini, aku tak sengaja mengenai lengan kirinya. Tidak ada yang serius! Sungguh!" ucapnya. Menambahkan kalimat terakhir karena melihat ekspresi membunuh Rei dan Akari.

"Lalu apa yang terjadi?!"

"Uh– aku tidak tahu apa itu mataku atau kabut tapi lengan kirinya bersinar. Seperti simbol ular," ucapnya. Mata Akari melebar.

'Mungkinkah...?' Akari berpikir, teringat kalimat di buku sihir dari perpustakaan. 'Sial. Tidak, tidak. Ini bukan saatnya.'

Akhirnya mereka sampai di ruang medis. Vinn cepat-cepat membaringkan Kazumi di ranjang, melangkah ke samping saat Rei mendorongnya. Dia dan Akari cepat-cepat membuka pelindung dada Kazumi. Mata Akari sekali lagi melebar melihat retakan di leher Kazumi.

"Rei," panggilnya. Matanya tak lepas dari retakan itu. "Apakah ... Kazumi selalu memiliki retakan seperti ini?"

"...." Rei terdiam, kemudian dia menggeleng. "Tidak. Itu pasti sesuatu yang dia dapatkan baru-baru ini."

"Sesuatu ... yang ia dapatkan baru baru ini ..." lirih Akari, rahangnya mengeras tanda kegeramannya, 'Dia bilang Kazumi tidak akan mendapatkannya dalam waktu dekat! Peri ubanan itu!'

"..ri, HEI AKARI!" Akari terperanjat kala telinganya berdenging, tepat setelah Rei memekik persis di samping telinganya.

"APA?!" balas Akari kesal membuat Rei dan Vinn sedikit tersentak.

"Woah- tidak perlu sekesal itu, kau melamun tau. Aku hanya ingin bertanya kau baik baik saja?" ujar Rei cepat, mengangkat kedua tangannya tanda perdamaian.

"Ugh, memangnya aku kenapa? Kau membuat telingaku berdenging," gerutu Akari mengusap telinganya.

Gadis pirang itu menatap Akari yang tampak lesu dengan seksama, tak menghiraukan gerutuan darinya, "Kau ... tau sesuatu?"

Keheningan melanda ketika Akari menoleh menatap Rei dengan wajah bingung. Detik kemudian, ia mengangkat alisnya, "Sesuatu seperti apa?"

Sebelum sepatah kata keluar dari belahan bibirnya, pintu ruang medis kembali terbuka, menampilkan sosok sang putra mahkota—Yulian—dengan pakaian kasual, berkemeja putih dengan celana panjang, menatap datar kearah mereka yang dengan cepat memberi salam.

The Final Curse Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang