07 -- Kutukan.

1 2 0
                                    

"Eh?! Kenapa aku yang merusaknya? Kau juga 'kan!" ucap Akari. Kemudian gadis itu terdiam, lalu mendekat ke arah Rei, berbisik. "Tapi hanya aku atau itu karena Vinn ...?"

"Pft–!" Rei menutup mulutnya, mati-matian menahan tawa. Dia kemudian balas berbisik, "Kau benar. Kenapa aku tidak memikirkan itu ya?"

"Apa yang kalian bisikkan?" tanya Kazumi, matanya memicing curiga.

"Tidak ada apapun yang penting!"

Yulian menghembuskan napas, menggosok lehernya lelah. "Karena kau sudah siuman, kami akan permisi. Jika kau masih merasa sakit panggil lah tabib lagi. Cepat sembuh, Pahlawan."

Dengan itu Yulian berjalan keluar. Menyisakan Artheon di bilik, yang membuat keempat manusia dunia lain itu heran.

"Um, Lord Artheon, kenapa Lord tidak menyusul Yang Mulia ...?" Akari dengan gugup bertanya. Panas menjalar ke wajahnya ketika atensi Artheon terpusat padanya.

Lord itu berdehem. "Ah, aku akan, tapi aku ingin memberi masukan terlebih dahulu pada kalian."

Dengan itu, semua menegakkan tubuh. Mendengarkan dengan baik.

"Pertama, Akari." Matanya menatap gadis berambut putih itu. "Kau mempunyai stamina yang baik untuk berlari sambil memegang tombak, dan pemahaman sihir yang cukup bagus hingga bisa memakai trik seperti tadi. Tapi mentalmu masih belum terlatih. Jika bukan karena temanmu yang bersorak dari pinggir, kau hanya akan menghindar selamanya."

"B-baik! Lord Artheon!" Akari membungkuk dan mengangguk.

Melihat Akari yang mengangguk, Artheon beralih ke Rei. "Kemudian, Rei. Baik stamina dan kemampuan sihirmu bagus. Sihir ilusi, bukan? Jarang ada yang mendapat sihir itu. Tapi kekuranganmu adalah, kau sulit serius. Kau bertarung hanya untuk bersenang-senang. Jika kau terus menganggap remeh pertarungan mu, kau akan mati konyol di medan perang."

"Bersenang-senang, ya? Haha, baik. Maafkan aku, Lord Artheon," ucap Rei sembari membungkuk.

"Terakhir, Kazumi dan Vinn. Vinn pertama, skill berpedang mu bagus untuk seseorang yang baru memegang pedang sungguhan selama seminggu. Dan sihir kabutmu juga sangat efektif untuk mengacaukan lawan. Tapi sama seperti Rei, kau bertarung bukan untuk untuk bertahan hidup. Kau bertarung untuk ... membalas dendam, benar?" Vinn membeku. "Seperti yang aku pikir. Jika kau terus menanamkan pikiran seperti itu, kau akan teledor dan mati dengan cepat."

"Saya mengerti. Maafkan saya, Lord Artheon." Vinn membungkuk dan menatap jari-jarinya.

"Dan Kazumi." Matanya menatap Kazumi, rasa bingung sekilas muncul di kedua mata itu. "Untuk orang yang tidak memiliki sihir, kau berbakat untuk menjadi ksatria. Aku yakin jika kau melawan 1 versus 1 dengan orang yang sama-sama tidak memakai sihir kau akan menang dengan mudah. Dan otakmu encer, bukan? Kau juga akan menjadi ahli taktik yang bagus."

"Dimengerti, Lord Artheon." Kazumi membungkuk, sebisa mungkin dengan keadaan duduk.

Artheon mengangguk. "Kalau begitu, aku permisi."

Keempatnya segera membungkuk lagi, menunggu Artheon keluar dari ruang medis dan menghembuskan napas serempak.

"Reiiii!" Akari mengguncang-guncang badan Rei. "Dia! Memujiku! Lord Artheon memujiku!!"

"Iya, iya. Dia bukan memujimu saja. Kau tidak dengar dia memujiku dan yang lain juga?"

"Dia!! Memujikuu Reii!"

"Ah sial. Kazumi, kita kehilangan dia."

---

Bangunan yang disediakan oleh kekaisaran untuk para pahlawan terbilang cukup luas. Waktu berlalu dengan cepat, bulan mulai naik menggantikan posisi matahari menjaga langit agar tetap diterangi cahaya.

The Final Curse Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang