WIMD 11

5 6 1
                                    

Detak suara jarum jam menjadi satu-satunya suara yang menghuni kamar bernuansa baby blue itu. Padahal di sana ada dua manusia yang jika dalam suasana biasa pasti sudah sibuk berdebat dan membicarakan hal-hal random. Sayangnya di malam ini, salah satu di antara mereka, yakni Jay memilih untuk fokus pada ponsel mahalnya. Sekilat terlihat seperti mengabaikan sang sahabat yakni Azel.

Diam-diam Azel melirik Jay yang tengah duduk diujung kasurnya. Berusaha menelaah ekspresi dari lelaki arogan sekaligus dingin itu. Wajahnya pun meringis ngeri menyadari betapa kaku dan dingin sosok itu. Seketika aura kalem terasa kental di sana.

Azel membasahi bibirnya, mencoba peruntungan untuk meruntuhkan kesunyian di antara mereka.

"Jay." panggil Azel, gugup.

Detik itu juga, Jay mengangkat wajah dengan alis yang dinaikkan.

"Kenapa Zel? Butuh sesuatu?" tanya Jay penuh perhatian.

Meskipun raut kaku masih tergambar jelas, namun tidak dengan nada bicaranya yang melembut.

"Nggak kok, Lo... Ngga mau pulang? Ngga mandi?" tanya Azel, hati-hati.

"Lo mau mandi?" Jay balas bertanya, lalu melirik kaki kanan Azel yang terbalut perban.

Sorot mata Jay seketika menggelap. Menyimpan amarah yang begitu besar karena mengingat penyebab dari luka di kaki Azel.

"Jay, gue udah ngga papa kok. Lo mending pulang, terus Istirahat. Lo pasti capek." tutur Azel penuh perhatian.

Seharian ini, Jay memang belum menginjakkan kaki dirumahnya sendiri. Ia begitu sibuk mengurusi dan menjaga Azel, hingga nyaris lupa pada dirinya sendiri. Tapi, penuturan Azel sepertinya tak mampu mempengaruhi Jay.

"Nggak. Gue mau disini jagain Lo." ucap Jay.

Perlahan Azel beringsut mendekat. Posisinya pun menjadi begitu dekat dengan Jay. Tanpa ragu ia meraih tangan kiri Jay yang tak menggenggam ponsel. Diusapnya tangan itu dengan lembut, sejenak mampu menghantarkan hangat dan nyaman dalam lubuk hati Jay. Mata jag pun refleks terpejam dan napasnya pun terdengar lebih tenang. Ya, Azel memang obat terbaik ubtuk Jay.

"Gue udah ngga papa, Jay. Jadi---" Azel menjeda ucapannya, sembari terus mengelus punggung tangan Jay.

Iris pekat Jay kembali terbuka, tak kala ucapan Azel tak juga berlanjut.

"Jadi apa?" tanya Jay.

"Jadi, bisa Lo batalin buat cari tau siapa pelaku----"

"Nggak akan!" tolak Jay dengan cepat.

"Tapi, balas dendam juga nggak ada untungnya, Jay." sanggah Azel.

"Ada! Keuntungannya, gue bisa bikin orang itu ngrasain apa yang Lo rasain!" tekan Jay.

Bibir Azel pun kembali terbuka. U taian kata pun nyaris mendesak keluar. Namun, sering ponsel Jay mengacaukan segalanya.

Dengan cepat Jay menerima panggilan tersebut. Terlihat perbincangan ya g sa
Serius selama beberapa detik, sebelum akhirnya panggilan itu selesai.

Atensi Jay kembali pada Azel. Tubuhnya sedikit merendah, lalu tangannya mendarat di pipi Azel memberi sentuhan lembut kemudian di susul dengan kecupan lembut di kening sang gadis.

"Gue pergi dulu. Ngga akan lama." pamit Jay.

"Lo mau kemana, Jay?"

"Jay!"

"Jay!"

Percuma, karena tubuh tinggi itu tetap melenggang meninggalkan Azel. Kini hanya terdapat pintu putih yang baru saja di tutup oleh Jay. Menyisakan Azel seorang diri dengan segudang kekhawatiran.

WHAT IS MY DESTINY???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang