"Jayandra!"
Seketika Jay membalikkan badan dan berdiri. Matanya membulat sempurna kala mendapati sosok Azel tengah berdiri dengan Vian dan Hessa dibelakangnya.
Raut wajah Vian tampak di hiasi rasa bersalah. Tentunya karena gagal menghalau Azel masuk dan juga gagal menjaga rahasia tentang keberadaan mereka dari Azel.
"Ngapain disini?" Jay bertanya dengan nada dingin, meskipun untungnya tengah berpacu gugup.
"Ngapain? Lo masih nanya gue ngapain disini?" balas Azel.
Gadis itu berjalan dengan langkah tertatih. Kakinya yang kembali di serang rasa perih pun tak ia pedulikan , karena kini yang terpenting adalah membawa Jay pergi dari sana dan menjauh dari Nayra yang nyaris hilang kesadaran.
"Ayo pulang!" ajak Azel.
Tangan kecilnya melingkupi tangan Jay yang di hiasi bercak darah milik Nayra.
"Nggak!" tolak Jay.
"Pulang, Jay!" tekan Azel, kesabarannya sudah habis.
"Lo--"
"Pulang!" tekan Azel sekali lagi.
Tak ada pilihan lain, akhirnya Jay mengalah dan membiarkan Azel menariknya pergi dari sana, meninggalkan Vian, Hessa dan juga Nayra.
Kini keduanya telah berada di luar gerbang belakang sekolah dan berdiri menghadap ke motor hitam milik Jay.
Tak ada yang berniat membuka suara. Hanya suara hewan malam yang mengisi sunyi serta atmosfer yang mencekam diantar dua sahabat itu.
Azel terus diam, tak tahu harus berkata apa. Tenggorokannya juga mendadak sakit karena menahan sesak entah berapa lama. Tangannya pun saling mengepal dengan pandangan yang tertuju pada segala arah. Kemanapun asal tidak menatap sosok disampingnya itu.
"Zel."
Bibir Azel tergigit kuat kala mendengar suara berat Jay memasuki rungunya. Meruntuhkan cemas yang kini masih saja menderanya.
"Azellea..."
Lagi-lagi Jay merapalkan nama Azel. Kalo ini dengan suara yang begitu rendah, disusul dengan genggam erat pada tangan Azel. Seketika membuat kepalan erat itu mulai terurai.
Perlahan Jay melingkarkan tangannya, mendekap tubuh kecil Azel dari belakang. Dagunya bersandar pada bahu Azel. Nafas berat Jay pun dapat Azel rasakan.
"Maaf..." lirih Jay.
Azel tetap diam, seolah-olah tak terpengaruh oleh perilaku Jay. Padahal, Azel sedang susah payah menahan air mata yang mendesak akan keluar dari kelopak matanya. Air mata yang mewakili rasa cemas serta khawatir pada sosok lelaki berkulit putih, seputih pualan itu.
"Maafin Jayandra ya."
"Kita pulang sekarang!" balas Azel dingin.
****
Ruangan bernuansa minimalis, kini jadi tempat Jay dan Azel bernaung. Dengan sepi yang senantiasa menemani. Azel tampak begitu berhati-hati membersihkan luka di tangan Jay. Karena, setelah tiba di rumah Azel baru menyadari adanya luka di tangan Jay. Luka akibat genggaman pecahan kaca beberapa saat yang lalu. Jika di lihat, lukanya tidak begitu parah. Tapi, tetap saja mengeluarkan darah yang pasti memicu rasa sakit yang cukup merepotkan.
Buktinya sudah sejak tadi Jay menahan nafas karena kapas yang sudah di basahi dengan alkohol bertemu luka di tangannya, itu cukup mampu membuat Jay mengeluh sekaligus mengumpat dalam hati.Yang lebih menjengkelkan bagi Jay adalah Azel dari tadi selalu diam. Gadis itu benar-benar begitu serius dengan amarahnya. Iya, marahnya seorang Azel adalah diam. Marah yang demi apapun sangat Jay benci sekaligus takutkan. Azel yang diam seperti ini benar-benar membuat Jay merasa tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHAT IS MY DESTINY???
FanfictionJayandra Aditya Nareshta adalah cowok populer di Arcadia International School, salah satu SMA Internasional ternama di Jakarta. Kepopulerannya di tunjang oleh penampilan dan tampangnya yang tampan juga kiprahnya sebagai playboy. Jay juga biasa be...